PARADIGMA SOSIAL
Ada tiga paradigma (menurut
George Ritzer) yang kemudian menjadi faham besar dalam sosiologi (Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ ) Pertama Paradigma fakta sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam “The Rules
of Sociological Method” (1895) dan “Suicide” (1897). Ia mengkritik
sosiologi yang didominasi Auguste Comte dengan positivismenya, yang beranggapan
sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim
menempatkan fakta sosial sebagai
sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research,
bukan dengan penalaran murni semata. Teori-teori dalam paradigma ini
adalah : teori Fungsional Struktural , teori Konflik, teori Sosiologi Makro,
dan teori Sistem.
Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial
adalah: Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Struktur sosial, adalah jaringan
hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana
posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Pranata sosial, adalah norma
dan pola nilai. Empat Proposisi yang
mendukung kelompok (masyarakat ) sebagai fakta sosial adalah : 1). Masyarakat
dilihat melalui sekumpulan individu, 2). Masyarakat tersusun atas beberapa
individu, 3). Fenomena sosial hanya memiliki realitas dalam individu, dan 4).
Tujuan mempelajari masyarakat adalah untuk membantu menerangkan / meramalkan
tindakan individu . Adanya asumsi “Individu merupakan produk masyarakat “ (individual is created by society ),
meletakkan manusia sebagai individu yang memiliki sifat negatif ( Durkheim stereotype reification ) (
Salim, 2006 : 80 )
Kedua,
Paradigma Definisi
Sosial. Tokohnya Max Weber, yang
menganalisis tindakan sosial (social action). Tindakan sosial adalah
tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki “makna” untuk dirinya sendiri dan orang
lain. Kata kuncinya “individu
dapat membentuk atau mengubah masyarakat”. Individu pada dasarnya
bermakna positif terhadap masyarakat, memiliki kepribadian yang relatif kuat
untuk menjadi pedoman hidup bagi masyarakat di sekelilingnya ( ibid : 78 ).
Dari asumsi inilah kemudian dikenal model “voluntarism”
Max Weber. Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial
(sistem) karena keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh
makna.Untuk mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman” (interpretative
understanding). Teori teori yang tergabung: : Fenomenologi, Interaksionisme
Simbolik, , Etnometodologi, dan Dramaturgi.
Ketiga, Paradigma Perilaku Sosial. Tokohnya B.F. Skinner. Obyek Sosiologi adalah perilaku
manusia yang tampak serta kemungkinan perulangannya (hubungan antar individu dan
lingkungannya). Perilaku sosial berlawanan
vis a vis tindakan sosial.
Perilaku sosial adalah mekenisme
stimulus dan respon, sedang tindakan sosial, aktor hanya penanggap pasif dari
stimulus yang datang padanya. Teori yang tergabung dalam paradigma perilaku
sosial adalah: Sosiologi Behavioral dengan konsep “Pemberdayaan” (reinforcement)
dan proposisi “penghargaan dan
hukuman” (reward and punishment), serta teori Perubahan (Exchange), dengan asumsi selalu ada “take
and give” dalam
Ada
empat cara berfikir berdasarkan dikotomi pengaruh anatar individu dam
manyarakat (Salim, 2006:78-81) : 1).
dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa individu dapat membentuk atau mengubah
manyarakat.(Weberian), 2).
dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa “ individu merupakan produk dari
masyarakat” (individual is created society=
Durkhemian), 3). dikotomi dari kedua
pendapat itu disintesiskan oleh Peter L.Berger, dalam model yang memiliki
perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara anggota masyarakat
(interaksi sosial). dan 4). model
terakhir transformasi dan sosialisasi. Disatu sisi berlangsung proses transformasi
yang terjadi ketika individu mendapat pengaruh kuat dari lingkunagn sosial,
individu akan menyesuaikan diri (bersosialisasi) dengan pola-pola yang berlaku
di masyarakatnya.
Dalam kelompok teori-teori
perubahan sosial klasik ada empat pandangan dari tokoh-tokoh terkenal yakni
August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. August Comte menyatakan
bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu tahapan-tahapan
perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan Evolusi
Intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai
dari tahap Teologis Primitif; tahap Metafisik transisional, dan terakhir tahap
positif rasional. Setiap perubahan tahap pemikiran manusia tersebut
mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya, dan secara keseluruhan juga
mendorong perubahan sosial.
Karl Marx pada dasarnya
melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi
dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan
yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan
kelompok pekerja. Di lain pihak Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi
sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah
kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas
mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas
organistik.
Max Weber pada dasarnya
melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari
pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini
dicontohkan masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai
Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas
dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih
sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.
Pendekatan Teori-teori
Modern terhadap Perubahan Sosial, pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa
terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah karena terganggunya
keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat
yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern)
sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial -seperti yang
dijelaskan oleh Talcott Parsons - maupun karena terjadinya ketidakseimbangan
internal seperti yang dijelaskan dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) William Ogburn.
Pendekatan modernisasi yang
dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya
merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan
menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi
dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong
terjadinya perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan
masyarakat.
R. Dahrendorf dan kawan-kawan, berpendapat
bahwa sumber perubahan sosial adalah adanya konflik yang intensif di antara
berbagai kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda-beda (Interest groups). Mereka masing-masing
memperjuangkan kepentingan dalam suatu wadah masyarakat yang sama sehingga
terjadilah konflik, terutama antara kelompok yang berkepentingan untuk
mempertahankan kondisi yang sedang berjalan (statusquo), dengan kelompok yang berkepentingan untuk mengadakan
perubahan kondisi masyarakat.
Daftar Pustaka
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Peneliitian
Kualitatif (edisi kedua ). Yogyakarta :
Tiara wacana
Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/
Maksum, Ali dan Rohendi ,Luluk Yunan. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di era modern
dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar