Senin, 06 Februari 2012

SOSIOLOGI 2


PARADIGMA SOSIAL
Ada tiga paradigma (menurut George Ritzer) yang kemudian menjadi faham besar dalam sosiologi (Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ ) Pertama Paradigma fakta sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam “The Rules of Sociological Method” (1895) dan “Suicide” (1897). Ia mengkritik sosiologi yang didominasi Auguste Comte dengan positivismenya, yang beranggapan sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research, bukan dengan penalaran murni semata. Teori-teori dalam paradigma ini adalah : teori Fungsional Struktural , teori Konflik, teori Sosiologi Makro, dan teori Sistem.

Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah: Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Struktur sosial, adalah jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Pranata sosial, adalah norma dan  pola nilai. Empat Proposisi yang mendukung kelompok (masyarakat ) sebagai fakta sosial adalah : 1). Masyarakat dilihat melalui sekumpulan individu, 2). Masyarakat tersusun atas beberapa individu, 3). Fenomena sosial hanya memiliki realitas dalam individu, dan 4). Tujuan mempelajari masyarakat adalah untuk membantu menerangkan / meramalkan tindakan individu . Adanya asumsi “Individu merupakan produk masyarakat “ (individual is created by society ), meletakkan manusia sebagai individu yang memiliki sifat negatif ( Durkheim stereotype reification ) ( Salim, 2006 : 80 )
Kedua, Paradigma Definisi Sosial. Tokohnya Max Weber, yang menganalisis tindakan sosial (social action). Tindakan sosial adalah tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki makna” untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata kuncinya individu dapat membentuk atau mengubah masyarakat”. Individu pada dasarnya bermakna positif terhadap masyarakat, memiliki kepribadian yang relatif kuat untuk menjadi pedoman hidup bagi masyarakat di sekelilingnya ( ibid : 78 ). Dari asumsi inilah kemudian dikenal model “voluntarism” Max Weber. Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial (sistem) karena keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh makna.Untuk mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman” (interpretative understanding). Teori teori yang tergabung: : Fenomenologi, Interaksionisme Simbolik, , Etnometodologi, dan Dramaturgi.
Ketiga, Paradigma Perilaku Sosial. Tokohnya B.F. Skinner. Obyek Sosiologi adalah perilaku manusia yang tampak serta kemungkinan perulangannya (hubungan antar individu dan lingkungannya). Perilaku sosial berlawanan vis a vis  tindakan sosial. Perilaku sosial adalah  mekenisme stimulus dan respon, sedang tindakan sosial, aktor hanya penanggap pasif dari stimulus yang datang padanya. Teori yang tergabung dalam paradigma perilaku sosial adalah: Sosiologi Behavioral dengan konsep “Pemberdayaan” (reinforcement) dan  proposisi “penghargaan dan hukuman” (reward and punishment), serta teori Perubahan (Exchange), dengan asumsi selalu ada “take and give” dalam
        Ada empat cara berfikir berdasarkan dikotomi pengaruh anatar individu dam manyarakat (Salim, 2006:78-81) : 1). dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa individu dapat membentuk atau mengubah manyarakat.(Weberian), 2). dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa “ individu merupakan produk dari masyarakat” (individual is created society= Durkhemian), 3). dikotomi dari kedua pendapat itu disintesiskan oleh Peter L.Berger, dalam model yang memiliki perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara anggota masyarakat (interaksi sosial). dan 4). model terakhir transformasi dan sosialisasi. Disatu sisi berlangsung proses transformasi yang terjadi ketika individu mendapat pengaruh kuat dari lingkunagn sosial, individu akan menyesuaikan diri (bersosialisasi) dengan pola-pola yang berlaku di masyarakatnya.
Dalam kelompok teori-teori perubahan sosial klasik ada empat pandangan dari tokoh-tokoh terkenal yakni August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. August Comte menyatakan bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu tahapan-tahapan perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan Evolusi Intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai dari tahap Teologis Primitif; tahap Metafisik transisional, dan terakhir tahap positif rasional. Setiap perubahan tahap pemikiran manusia tersebut mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya, dan secara keseluruhan juga mendorong perubahan sosial.
Karl Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja. Di lain pihak Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.
Max Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.
Pendekatan Teori-teori Modern terhadap Perubahan Sosial, pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah karena terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial -seperti yang dijelaskan oleh Talcott Parsons - maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti yang dijelaskan dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) William Ogburn.
Pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat.
R. Dahrendorf dan kawan-kawan, berpendapat bahwa sumber perubahan sosial adalah adanya konflik yang intensif di antara berbagai kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda-beda (Interest groups). Mereka masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam suatu wadah masyarakat yang sama sehingga terjadilah konflik, terutama antara kelompok yang berkepentingan untuk mempertahankan kondisi yang sedang berjalan (statusquo), dengan kelompok yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan kondisi masyarakat.

Daftar Pustaka
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Peneliitian Kualitatif (edisi kedua ). Yogyakarta: Tiara wacana
 Maksum, Ali dan Rohendi ,Luluk Yunan. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di era modern dan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar