Senin, 06 Februari 2012

SOSIOLOGI 1


PARADIGMA SISTEM SOSIAL


  1. Pendahuluan
Realitas, menurut Immanuel Kant (Wignyosoebroto : http://blog.unila.ac.id /pdih /files/2009) ( Salim : 2006 )  dipisahkan menjadi dua; realitas dalam dunia noumena (in abstrcto) dan realitas dalam dunia fenomena (in concreto).  Dunia noumena adalah dunia dalam “alam ide”, sedang  fenomena adalah dunia rasional yang berada didalam “pemahaman indrawi” ( empiris ). Ada dua paham paradigmatik yang berdebat di sini tentang mana dari kedua realitas tersebut yang harus diperlakukan sebagai kebenaran pertama, dan mana pula yang harus dipahami cuma sebagai derivatnya saja.
Apakah konstruksi di alam idea manusia itu yang harus dipandang sebagai kebenaran yang sebenarnya, yang original dan mutlak sifatnya, sedangkan realitas di alam pengalaman indrawi itu hanya refleksinya yang virtual alias maya saja, sekalipun secara empirik harus juga dipahami sebagai yang “benar” (tetapi sesungguhnya bukan ‘yang sebenarnya’?). Ataukah sebaliknya, bahwa kebenaran sejati itu bermukim dialam yang indrawi, sedangkan konstruksi yang disebut ‘teori’ di alam idea manusia itu harus dimengerti sebagai refleksinya saja, sebagaimana dibangun berdasarkan hasil-hasil amatan indrawi. Debat seperti ini adalah bagaikan debat yang tak berkesudahan seperti persoalan mana yang ada terlebih dahulu, ayam ataukah telur (Soetandyo Wignyosoebroto, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009).

Debat seperti itu kelak akan nyata kalau tidak cuma berkenaan dengan persoalan ontologik saja, ialah ketika orang mendiskusikan tentang ihwal hakikat kebenaran yang azali (genuin) dan sejati dan yang dikatakan pula bersifat mutlak itu. Debat demikian itu sungguh terjadi hingga merambah persoalan metodologi. Ialah persoalan mengenai “apa”,dan “bagaimana”, kebenaran ‘yang sebenarnya’ itu, dan kemudian juga mengenai cara apa yang harus ditempuh guna menemukan, atau menemukan kembali, kebenaran yang dikatakan original, sejati, dan/atau yang tak cuma benar akan tetapi juga yang sebenarnya.
Karena debat seperti ini tidak akan ada keputusannya, dan hanya akan berkepanjangan tanpa ada ujung-pangkalnya, maka yang dapat dilakukan orang agar debat bisa berkeputusan adalah: Terserahlah pada pilihan masing-masing. Hasil pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi kebenarannya inilah yang dalam wacana-wacana akademik disebut ‘paradigma’.

B. Pengertian Paradigma
Ada dua Paradigma yang saling berhadapan vis a vis secara rasional dalam teori. Pertama paradigma klasik yang berfaham “idealisme” bersifat filsafati, dan kedua, paradigma “empiris” atau “positivisme”. Paradigma pertama bersikukuh pada pendapat realitas adalah proporsi yang berasal dari alam idea yang metafisik. Sedang Paradigma yang kedua bersikukuh pada pendapat realitas adalah merupakan pengalaman yang bersifat empirik atau positif.
Menurut peradigma klasik, ”teori” adalah kebenaran ( realitas ) yang   berasal dari dalam alam idea yang dapat ditangkap melalui kontemplasi imajinasi, selanjutnya dikonstruksikan sebagai pengetahuan manusia yang benar. Jadi “kebenaran” , menurut paham idealisme ini sejatinya tak perlu dicari kemana-mana, karena secara intrinsik sudah ada didalam alam idea manusia yang merupakan kodrat dari Tuhan. Tokoh pertama paradigma klasik adalah Plato diteruskan Aristoteles. Paradigma ini masih dipegang teguh hingga jaman skolastik seperti oleh Thomas Aquinas, hingga pada jaman yang lebih mutakir masih di ikuti Baron de Montesque dan Hegel.
   Paradigma empirik atau positivisme memandang kebenaran berasal dari pengalaman pribadi atau kelompok. “Teori yang benar“  itu hanya mungkin dikonstruksikan jika orang bersedia menangkap terlebih dahulu realitas indrawi, dengan hasil-hasilnya (disebut data) yang akan dipakai sebagai dasar kebenaran (Soetandyo Wignyosoebroto, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009). Tokoh pengembang paradigma positivisme adalah Auguste Comte (Perancis) dan paradigma empirisme adalah David Hume (Skotlandia).
Pertama kali istilah “Paradigma” dikenalkan oleh Thomas S Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific. Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Robert Friedrichs kemudian menjelaskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari, “a fundamental image a dicipline has of its subject matter”. George Ritzer mendefinisikan Paradigma adalah : “what is the subject matter of science(Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ ).  Lebih lengkapnya Agus Salim (2006 : 78) mengutip difinisi Ritzer :
...a fundamental image of the subject metter within a science. It serves to define what should be studied, what questions should be asked, how they should be asked, and what rules should be followed in interpreting the answer obtained. The paradigm is the broadest unit consesus within a science and serves to differentiate on scientific community (or subcommunity) from anonther. It subsumes, defines, and interrelates the examplars, theories and methods and instruments that exist within it.

Ritzer menegaskan, paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan (ontologi, epistimologi, dan metodologi). Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu, seorang yang akan menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang menyangkut pokok permasalahannya, maupun metodenya agar dapat diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan. (http://massofa. wordpress.com/2009) . Paradigma adalah semacam idea fixed yang diterima sebagai “cara berpikir yang normal” pada suatu periode tertentu, untuk difungsikan sebagai basis suatu sistem pengetahuan manusia sepanjang periode itu.

C.     Paradigma Dalam Sosiologi
Paradigma dalam sosiologi didefinisikan sebagai sebuah jendela batin dimana kita dapat melihat “sesuatu” (paradigm is a mental window through which we see things), atau dalam definisi panjang  diartikan sebagai seperangkat asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan / kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan : the nature/image of human being, the nature/image of society, the nature/image of sociology and sociological theory serta implikasi-implikasi metodologinya ( Dr. Tamrin A. Tomagola ).
Ada tiga paradigma (menurut George Ritzer) yang kemudian menjadi faham besar dalam sosiologi (Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ ). Pertama, Paradigma fakta sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim sebagaimana disebutkan dalam “The Rules of Sociological Method” (1895) dan “Suicide” (1897). Ia mengkritik sosiologi yang didominasi Auguste Comte dengan positivismenya, yang beranggapan sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research field research) ) bukan dengan penalaran murni semata. Teori-teori dalam paradigma ini adalah : teori Fungsional Struktural , teori Konflik, teori Sosiologi Makro, dan teori Sistem.
Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah: Struktur Sosial dan Sistem Sosial. Struktur sosial, adalah jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sistem sosial kajian yang berkenaan dengan norma dan  tata nilai. Empat Proposisi yang mendukung kelompok (masyarakat ) sebagai fakta sosial adalah : 1) Masyarakat dilihat melalui sekumpulan individu, 2) Masyarakat tersusun atas beberapa individu, 3) Fenomena sosial hanya memiliki realitas dalam individu, dan 4) Tujuan mempelajari masyarakat adalah untuk membantu menerangkan / meramalkan tindakan individu. Adanya asumsi “Individu merupakan produk masyarakat  (individuai is created by society )”, meletakkan manusia sebagai individu yang memiliki sifat negatif ( Durkheim stereotype reifikation ) ( Salim, 2006 : 80 )
Kedua, Paradigma Definisi Sosial. Tokohnya Max Weber, yang menganalisis tindakan sosial (social action). Tindakan sosial adalah tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki makna” untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata kuncinya individu dapat membentuk atau mengubah masyarakat”. Individu pada dasarnya bermakna positif terhadap masyarakat, memiliki kepribadian yang relatif kuat untuk menjadi pedoman hidup bagi masyarakat di sekelilingnya ( ibid : 78 ). Dari asumsi inilah kemudian dikenal model “voluntarism” Max Weber. Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial (sistem) karena keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh makna. Untuk mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman (interpretative understanding)”. Teori teori yang tergabung: : Fenomenologi, Interaksionisme Simbolik,  Etnometodologi, dan Dramaturgi.
Ketiga, Paradigma Perilaku Sosial. Tokohnya B.F. Skinner Obyek Sosiologi adalah perilaku manusia yang tampak serta kemungkinan perulangannya (hubungan antar individu dan lingkungannya). Perilaku sosial berlawanan vis a vis  tindakan sosial. Perilaku sosial adalah  mekenisme stimulus dan respon, sedang tindakan sosial, aktor hanya penanggap pasif dari stimulus yang datang padanya. Teori yang tergabung dalam paradigma perilaku sosial adalah: Sosiologi Behavioral dengan konsep “Pemberdayaan” (reinforcement) dan  proposisi “penghargaan dan hukuman” (reward and punishment), serta teori Perubahan (Exchange), dengan asumsi selalu ada “take and give” dalam

D.    Sistem Sosial
Secara etimologis “sistem” berasal dari bahasa Yunani systema artinya sehimpunan dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Sistem adalah sesuatu yg terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yg selalu pengaruh-mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas (Sunaryati Hartono, Guru Besar UNPAD dalam http://blog.binadarma.ac.id/ ). Sistem oleh Shorde & Voich  diartikan sebagai  a set of interrelated parts, working independently & jointly, in pursuit of common objectives or the whole, within a complex environment (http://www.diahkei.staff.ugm.ac.id/ ). Masyarakat sebagai  suatu sistem secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Sehingga kehidupan sosial (masyarakat) sebagai  sistem sosial harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan  berada dalam satu kesatuan.
.           Talcott Parsons (Giddens, 2004 : 107 ) memandang masyarakat dalam dua kelompok, yaitu masyarakat dalam  arti “sistemik” dan dalam arti “fungsional”.  Menurut Parsons, masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan subsistem-subsistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Agar sebuah masyarakat  mencapai keseimbangan dan bisa tetap eksis, maka fungsi (menurut Parsons) didalam sistem harus bekerja dengan baik. Fungsi pertama adalah adaptasi ( Adaptation ) artinya sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kemudian fungsi tujuan ( Goal ) artinya sistem akan memiliki fungsi manakala dapat diorientasikan menuju suatu tujuan. Integrasi  (Intergration) sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengatur antar hubungan fungsi lain (A,G,I). Dan Latency (pemeliharaan ), sistem  harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi . Setiap subsistem pada giliranya harus memastikan empat fungsi AGIL agar tetap eksis.
Sistem Sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam lingkungan tertentu. Mereka memiliki motivasi untuk mencapai kepuasan yang didefinisikan dan dimediasi dalam terma simbol bersama yang  terstruktur secara kultural tertentu. Artinya , dalam sistem sosial ada; Aktor , interaksi , lingkungan , optimalisai kepuasan , dan kultur (norma dan tata nilai) .
Persyaratan fungsional dari sebuah sistem sosial sosial:
  1. Sistem sosiallharussterstrukturtsehingga dapat beroperasi dengan struktur lainnya dalam hubungan yang harmonis
  2. Untuk menjaga hidupnya, harus ada dukungan dari sistem lainnya
  3. Sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktor dalam proporsi yang signifikan
  4. Sistem harus mampu melahirkan partisipasi memadai dari para anggotanya
  5. Sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu
  6. Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus dikendalikan
  7. Untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa .ba

Masing-masing fungsi ini terkait dengan subsistem (pranata / social institution). Sebagai contoh,  subsistem ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi, pranata politik memberikan difinisi untuk tujuan akhir (goal), pranata sosial berfungsi untuk meng-integrasikan masyarakat (sosial) , dan pranata kultural (agama, sekolah) bertugas untuk mendifinisikan dan memelihara (latency) norma-norma dan nilai dalam masyarakat Pada prinsipnya teori Talcott Parsons ini bertujuan untuk menjawab epistimologi memahami eksistensi suatu tatanan (sistem) sosial yang terorganisir dalam sebuah negara yang bebas.

E.     Paradigma Sistem Sosial
Dalam sosiologi perubahan pemikiran terjadi secara cepat dan dinamis, tergantung pada bukti empiris yang diyakini. Indikator adanya perubahan dalam pengembangan keragaman paradigmatik dapat terjadi karena perbedaan pandangan filosofis, konsekuensi logis dari perbedaan teori yang digunakan dan sifat metodologi yang digunakan untuk mencapai kebenaran. Ada empat cara berfikir berdasarkan dikotomi pengaruh antar individu dalam manyarakat : 1). dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa individu dapat membentuk atau mengubah manyarakat. 2). dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa “ individu merupakan produk dari masyarakat” (individual is created society). 3). dikotomi dari kedua pendapat itu disintesiskan oleh Peter L.Berger, dalam model yang memiliki perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara anggota masyarakat (interaksi sosial). dan 4). model terakhir itu akan menghasilkan gambaran yang menyambung. Disatu sisi berlangsung proses sosialisasi yang terjadi ketika individu mendapat pengaruh kuat dari lingkungan sosial, individu akan menyesuaikan diri dengan pola-pola yang berlaku di masyarakatnya. Berdasarkan pengertian paradigma seperti yang digambarkan Ritzer, ada disimpulkan tiga paradigma sistem sosial ;

1. Paradigma Konservatif
Mazhab konservatisme adalah penentang welfare state. Bagi kaum konservatif, ketidaksejajaran masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa di hindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Masalah sosial terjadi bukan karena kesalahan sistem, melainkan kesalahan individu yang bersangkutan. Misalnya, karena malas, tidak memiliki jiwa wirausaha dan karakteristik budaya kemiskinan lainnya. Solusi yang diajukan oleh para penganut “blaming the victim” ini pada intinya membatasi peran pemerintah dan menekankan perubahan pada individu dan kelompok-kelompok kecil Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus di perjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja.
Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merobah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang yang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang terpenjara, menjadi demikian karena kesalahan merka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.
2. Paradigma Liberal
Kaum liberal mendukung welfare state. Negara merefleksikan kehendak individu dan dipilih berdasarkan perwakilan kelompok. Negara memiliki legitimasi untuk mengatur dan bertindak. Tiga intervensi negara yang diperlukan dalam pembangunan mencakup: (a) penciptaan distribusi pendapatan, (b) stabilisasi mekanisme pasar swasta, dan (c) penyediaan barang-barang publik (public goods) yang tidak mampu atau tidak efisien disediakan oleh pasar. Individu dan kelompok adalah warga negara yang sehat, namun punya potensi menjadi rentan (vulnerable) dan bermasalah dikarenakan adanya kesalahan sistem atau lingkungan. “Blaming the system” adalah pandangan utama ideologi ini. Masalah sosial, termasuk orang yang mengalaminya, diakibatkan bukan oleh kesalahan individu yang bersangkutan, melainkan oleh kesalahan sistem.

3. Paradigma Struktural
Kaum strukturalis memandang masalah sosial sebagai akibat adanya ketimpangan pada sistem atau struktur sosial masyarakat. Masalah sosial adalah situasi tidak terhindarkan dan akan selalu ada dalam sistem yang classist, sexist dan racist, karena sistem seperti itu menciptakan ketidakadilan melalui perbedaan-perbedaan status sosial. Keadaan ini akan semakin membesar dan memburuk dalam sebuah sistem ekonomi kapitalis. Rakyat adalah korban dan objek eksploitasi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan privilege. Solusinya: rakyat harus berjuang memperoleh kekuasaan dan menjangkau sumber-sumber. Sistem ekonomi, sosial dan politik harus diubah dan direstrukturisasi secara menyeluruh, untuk mencapai pemerataan. Oleh karena itu muncul istilah ” sama rata sama rasa”.
   Para penganut mazhab strukturalisme memiliki kesamaan pandangan dengan kaum liberal. Mereka menganut faham “blaming the system” atau lebih tepatnya “blaming the structure” serta paradigma kesejahteraan sosial yang bersandar pada model institusional-radikal. Yang membedakannya dengan kaum liberalis adalah bahwa pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan oleh kelompok strukturalis lebih memfokuskan pada perubahan lingkungan pada aras makro. Analisis kebijakan sosial, advokasi kelas dan aksi-aksi sosial dan politik adalah beberapa metoda yang sering digunakan untuk melakukan perubahan sosial secara struktural dan radikal. Skema perlindungan sosial, seperti social security, welfare-to-work programmes, social safety nets, dan conditional cash transfer adalah beberapa program yang umumnya diterapkan oleh mazhab ini. Di Indonesia istilah yang muncul di kenal dengan “Pemberdayaan”.



Daftar Pustaka


Giddens, Anthony. et all. 2004.  Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. (terjemahan : Ninik Rochani Sjams). Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Ilham, Muhammad . Paradigma Sosiologi - Teori Sosiologi Tahap Awal. http://islamkuno.com/ . diakses 21 Desember 2009
Maksum, Ali & Ruhendi, Luluk Yunan. 2004. Paradigma Pendidikan Universal : di Era Modern dan Post-modern, Mencari ”Visi Baru”  atas ”Realitas Baru”  Pendidikan Kita. Yogyakarta. IrCisot.
Mustofa, Chabib, Hand Out Teori Sosiologi Modern, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ , diakses 21 Desember 2009
Nurcahyo, Andik. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sebuah Resume atas karya George Ritzer). http://islamkuno.com/. Diakses 21 Desember 2009
Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer (terj. Tim Yosogama). Jakarta. PT. Raja Grafindo Perkasa
Salim, Dr.Agus, MS. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial : Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, edisi kedua. Yogyakarta. Tiara wacana.
Singgih, Doddy Sumbodo. Masalah-masalah sosial di indonesia : Pemahaman Konsep, Fokus Analisis,Skema Hubungan antar-variabel dan Metode Analisis. http://www.journal.unair.ac.id. Diakses 21 Desember 2009
Sofa. Paradigma Sosiologi. http://massofa.wordpress.com/. Diakses 21 Desember 2009
SOSI4206 Teori Sosiologi Modern, http://pustaka.ut.ac.id/. Diakses 23 Desember 2009                                        

Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapanya Dalam Penelitian. Surakarta. Sebelas Maret University Press
Wignjosoebroto, Prof. Soeutandyo, Hand out Mataajaran ”Teori-Teori Sosial Tentang Hukum”, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/, diakses 21 Desember 2009
www.ahmadheryawan.com/.../3023-paradigma-pendidikan-di-ranah-politik. pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar