PARADIGMA SISTEM SOSIAL
- Pendahuluan
Realitas,
menurut Immanuel Kant (Wignyosoebroto : http://blog.unila.ac.id /pdih /files/2009) ( Salim : 2006
) dipisahkan menjadi dua; realitas dalam dunia noumena (in abstrcto) dan realitas dalam
dunia fenomena (in concreto). Dunia noumena adalah dunia
dalam “alam ide”, sedang fenomena adalah dunia rasional yang
berada didalam “pemahaman indrawi” ( empiris ). Ada dua
paham paradigmatik yang berdebat di sini tentang mana dari kedua realitas
tersebut yang harus diperlakukan sebagai kebenaran pertama, dan mana pula yang
harus dipahami cuma sebagai derivatnya saja.
Apakah konstruksi
di alam idea manusia itu yang harus dipandang sebagai kebenaran yang sebenarnya,
yang original dan mutlak sifatnya, sedangkan realitas di alam pengalaman
indrawi itu hanya refleksinya yang virtual alias maya saja, sekalipun secara
empirik harus juga dipahami sebagai yang “benar” (tetapi sesungguhnya bukan
‘yang sebenarnya’?). Ataukah sebaliknya, bahwa kebenaran sejati itu bermukim
dialam yang indrawi, sedangkan konstruksi yang disebut ‘teori’ di alam idea
manusia itu harus dimengerti sebagai refleksinya saja, sebagaimana dibangun
berdasarkan hasil-hasil amatan indrawi. Debat seperti ini adalah bagaikan debat
yang tak berkesudahan seperti persoalan mana yang ada terlebih dahulu, ayam
ataukah telur (Soetandyo Wignyosoebroto, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009).
Debat seperti itu
kelak akan nyata kalau tidak cuma berkenaan dengan persoalan ontologik saja,
ialah ketika orang mendiskusikan tentang ihwal hakikat kebenaran yang azali (genuin) dan sejati dan yang dikatakan
pula bersifat mutlak itu. Debat demikian itu sungguh terjadi hingga merambah persoalan
metodologi. Ialah persoalan mengenai “apa”,dan “bagaimana”, kebenaran ‘yang
sebenarnya’ itu, dan kemudian juga mengenai cara apa yang harus ditempuh guna
menemukan, atau menemukan kembali, kebenaran yang dikatakan original, sejati,
dan/atau yang tak cuma benar akan tetapi juga yang sebenarnya.
Karena debat
seperti ini tidak akan ada keputusannya, dan hanya akan berkepanjangan tanpa
ada ujung-pangkalnya, maka yang dapat dilakukan orang agar debat bisa
berkeputusan adalah: Terserahlah pada
pilihan masing-masing. Hasil pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi
kebenarannya inilah yang dalam wacana-wacana akademik disebut ‘paradigma’.
B. Pengertian Paradigma
Ada dua Paradigma yang saling berhadapan vis a vis
secara rasional dalam teori. Pertama paradigma klasik yang berfaham “idealisme” bersifat filsafati, dan kedua,
paradigma “empiris” atau “positivisme”. Paradigma pertama bersikukuh
pada pendapat realitas adalah proporsi yang berasal dari alam idea yang
metafisik. Sedang Paradigma yang kedua bersikukuh pada pendapat realitas adalah
merupakan pengalaman yang bersifat empirik atau positif.
Menurut peradigma
klasik, ”teori” adalah kebenaran ( realitas ) yang berasal
dari dalam alam idea yang dapat ditangkap melalui kontemplasi imajinasi,
selanjutnya dikonstruksikan sebagai pengetahuan manusia yang benar. Jadi “kebenaran”
, menurut paham idealisme ini sejatinya tak perlu dicari kemana-mana, karena
secara intrinsik sudah ada didalam alam idea manusia yang merupakan kodrat dari
Tuhan. Tokoh pertama paradigma klasik adalah Plato diteruskan Aristoteles.
Paradigma ini masih dipegang teguh hingga jaman skolastik seperti oleh Thomas
Aquinas, hingga pada jaman yang lebih mutakir masih di ikuti Baron de Montesque
dan Hegel.
Paradigma empirik atau positivisme memandang
kebenaran berasal dari pengalaman pribadi atau kelompok. “Teori yang benar“ itu hanya mungkin dikonstruksikan jika orang
bersedia menangkap terlebih dahulu realitas indrawi, dengan hasil-hasilnya (disebut
data) yang akan dipakai sebagai dasar kebenaran (Soetandyo Wignyosoebroto, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009).
Tokoh pengembang paradigma positivisme adalah Auguste Comte (Perancis) dan
paradigma empirisme adalah David Hume (Skotlandia).
Pertama kali istilah “Paradigma” dikenalkan oleh Thomas S Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific. Menurutnya,
paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi
dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Robert Friedrichs kemudian menjelaskan paradigma
sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin ilmu tentang apa yang semestinya
dipelajari, “a fundamental image a dicipline has of its subject matter”.
George Ritzer mendefinisikan Paradigma adalah : “what is the subject matter of science “(Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ ). Lebih lengkapnya Agus Salim (2006 : 78) mengutip
difinisi Ritzer :
...a
fundamental image of the subject metter within a science. It serves to define what
should be studied, what questions should be asked, how they should be asked,
and what rules should be followed in interpreting the answer obtained. The
paradigm is the broadest unit consesus within a science and serves to
differentiate on scientific community (or subcommunity) from anonther. It
subsumes, defines, and interrelates the examplars, theories and methods and
instruments that exist within it.
Ritzer
menegaskan, paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar,
prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu
pengetahuan (ontologi, epistimologi, dan metodologi). Kemudian, bertolak dari
suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu, seorang yang akan menyelesaikan
permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang
menyangkut pokok permasalahannya, maupun metodenya agar dapat diperoleh jawaban
yang dapat dipertanggungjawabkan. (http://massofa.
wordpress.com/2009) . Paradigma
adalah semacam idea fixed yang diterima sebagai “cara berpikir yang
normal” pada suatu periode tertentu, untuk difungsikan sebagai basis suatu
sistem pengetahuan manusia sepanjang periode itu.
C. Paradigma Dalam Sosiologi
Paradigma dalam sosiologi didefinisikan sebagai
sebuah jendela batin dimana kita dapat melihat “sesuatu” (paradigm is a
mental window through which we see things), atau dalam definisi panjang diartikan sebagai seperangkat asumsi-asumsi
dan keyakinan-keyakinan / kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan dengan : the
nature/image of human being, the nature/image of society, the
nature/image of sociology and sociological theory serta implikasi-implikasi
metodologinya ( Dr. Tamrin A. Tomagola ).
Ada tiga paradigma (menurut George Ritzer) yang kemudian menjadi faham besar
dalam sosiologi (Mustofa, Chabib, http://chabib.sunan-ampel.ac.id/ ). Pertama, Paradigma fakta sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim sebagaimana disebutkan dalam “The
Rules of Sociological Method” (1895) dan “Suicide” (1897). Ia
mengkritik sosiologi yang didominasi Auguste Comte dengan positivismenya, yang
beranggapan sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim
menempatkan fakta sosial sebagai
sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research
field research) ) bukan dengan penalaran murni semata. Teori-teori
dalam paradigma ini adalah : teori Fungsional Struktural , teori Konflik, teori
Sosiologi Makro, dan teori Sistem.
Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah:
Struktur Sosial dan Sistem Sosial. Struktur sosial, adalah jaringan hubungan
sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi
sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sistem sosial kajian yang berkenaan
dengan norma dan tata nilai. Empat
Proposisi yang mendukung kelompok (masyarakat ) sebagai fakta sosial adalah :
1) Masyarakat dilihat melalui sekumpulan individu, 2) Masyarakat tersusun atas
beberapa individu, 3) Fenomena sosial hanya memiliki realitas dalam individu,
dan 4) Tujuan mempelajari masyarakat adalah untuk membantu menerangkan /
meramalkan tindakan individu. Adanya asumsi “Individu merupakan produk
masyarakat (individuai is created by society )”, meletakkan manusia sebagai
individu yang memiliki sifat negatif ( Durkheim
stereotype reifikation ) ( Salim, 2006 : 80 )
Kedua, Paradigma Definisi Sosial. Tokohnya Max Weber,
yang menganalisis tindakan sosial (social action). Tindakan sosial
adalah tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki “makna” untuk dirinya sendiri dan orang
lain. Kata kuncinya “individu
dapat membentuk atau mengubah masyarakat”. Individu pada dasarnya
bermakna positif terhadap masyarakat, memiliki kepribadian yang relatif kuat
untuk menjadi pedoman hidup bagi masyarakat di sekelilingnya ( ibid : 78 ).
Dari asumsi inilah kemudian dikenal model “voluntarism”
Max Weber. Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial
(sistem) karena keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh makna. Untuk
mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman (interpretative
understanding)”. Teori teori yang tergabung: : Fenomenologi,
Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, dan Dramaturgi.
Ketiga, Paradigma
Perilaku Sosial. Tokohnya B.F. Skinner Obyek
Sosiologi adalah perilaku manusia yang tampak serta kemungkinan perulangannya
(hubungan antar individu dan lingkungannya). Perilaku sosial berlawanan vis a vis tindakan sosial. Perilaku sosial
adalah mekenisme stimulus dan respon,
sedang tindakan sosial, aktor hanya penanggap pasif dari stimulus yang datang
padanya. Teori yang tergabung dalam paradigma perilaku sosial adalah: Sosiologi
Behavioral dengan konsep “Pemberdayaan” (reinforcement) dan proposisi “penghargaan dan hukuman” (reward
and punishment), serta teori Perubahan (Exchange),
dengan asumsi selalu ada “take and give” dalam
D.
Sistem Sosial
Secara etimologis “sistem” berasal dari bahasa Yunani systema
artinya sehimpunan dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling
berhubungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.
Sistem adalah sesuatu yg terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yg selalu
pengaruh-mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas
(Sunaryati Hartono, Guru Besar UNPAD dalam http://blog.binadarma.ac.id/ ). Sistem
oleh Shorde & Voich diartikan
sebagai “a set of interrelated parts,
working independently & jointly,
in pursuit of common objectives or the
whole, within a complex
environment” (http://www.diahkei.staff.ugm.ac.id/ ).
Masyarakat sebagai suatu sistem secara fungsional terintegrasi
ke dalam suatu bentuk equilibrium. Sehingga kehidupan sosial (masyarakat) sebagai
sistem sosial harus dilihat sebagai
suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang
saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam satu kesatuan.
. Talcott
Parsons (Giddens, 2004 : 107 ) memandang masyarakat dalam dua kelompok, yaitu
masyarakat dalam arti “sistemik” dan
dalam arti “fungsional”. Menurut Parsons,
masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem
yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian
masyarakat adalah merupakan kumpulan subsistem-subsistem sosial yang satu sama
lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Agar sebuah
masyarakat mencapai keseimbangan dan
bisa tetap eksis, maka fungsi (menurut Parsons) didalam sistem harus bekerja
dengan baik. Fungsi pertama adalah adaptasi ( Adaptation ) artinya sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, kemudian fungsi tujuan ( Goal
) artinya sistem akan memiliki fungsi manakala dapat diorientasikan menuju
suatu tujuan. Integrasi (Intergration) sebuah sistem harus
mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga
harus mengatur antar hubungan fungsi lain (A,G,I). Dan Latency (pemeliharaan ), sistem
harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki,
baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi . Setiap subsistem pada giliranya harus memastikan empat fungsi AGIL
agar tetap eksis.
Sistem Sosial terdiri
dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam lingkungan
tertentu. Mereka memiliki motivasi untuk mencapai kepuasan yang didefinisikan
dan dimediasi dalam terma simbol bersama yang terstruktur secara kultural tertentu. Artinya , dalam
sistem sosial ada; Aktor , interaksi , lingkungan , optimalisai kepuasan , dan
kultur (norma dan tata nilai) .
Persyaratan
fungsional dari sebuah sistem sosial sosial:
- Sistem sosiallharussterstrukturtsehingga dapat beroperasi dengan struktur lainnya dalam hubungan yang harmonis
- Untuk menjaga hidupnya, harus ada dukungan dari sistem lainnya
- Sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktor dalam proporsi yang signifikan
- Sistem harus mampu melahirkan partisipasi memadai dari para anggotanya
- Sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu
- Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus dikendalikan
- Untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa .ba
Masing-masing fungsi ini
terkait dengan subsistem (pranata / social
institution). Sebagai contoh, subsistem ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi,
pranata politik memberikan difinisi untuk tujuan akhir (goal), pranata sosial
berfungsi untuk meng-integrasikan masyarakat (sosial) , dan pranata
kultural (agama, sekolah) bertugas untuk mendifinisikan dan memelihara (latency)
norma-norma dan nilai dalam masyarakat Pada prinsipnya teori Talcott Parsons
ini bertujuan untuk menjawab epistimologi memahami eksistensi suatu tatanan
(sistem) sosial yang terorganisir dalam sebuah negara yang bebas.
E. Paradigma Sistem Sosial
Dalam sosiologi perubahan pemikiran terjadi secara cepat dan dinamis,
tergantung pada bukti empiris yang diyakini. Indikator adanya perubahan dalam pengembangan
keragaman paradigmatik dapat terjadi karena perbedaan pandangan filosofis,
konsekuensi logis dari perbedaan teori yang digunakan dan sifat metodologi yang
digunakan untuk mencapai kebenaran. Ada empat cara berfikir berdasarkan
dikotomi pengaruh antar individu dalam manyarakat : 1). dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa individu dapat membentuk
atau mengubah manyarakat. 2).
dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa “ individu merupakan produk dari
masyarakat” (individual is created
society). 3). dikotomi dari kedua
pendapat itu disintesiskan oleh Peter L.Berger, dalam model yang memiliki
perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara anggota masyarakat
(interaksi sosial). dan 4). model
terakhir itu akan menghasilkan gambaran yang menyambung. Disatu sisi
berlangsung proses sosialisasi yang terjadi ketika individu mendapat pengaruh
kuat dari lingkungan sosial, individu akan menyesuaikan diri dengan pola-pola
yang berlaku di masyarakatnya. Berdasarkan pengertian paradigma seperti yang
digambarkan Ritzer, ada disimpulkan tiga paradigma sistem sosial ;
1. Paradigma Konservatif
Mazhab
konservatisme adalah penentang welfare
state. Bagi kaum konservatif, ketidaksejajaran masyarakat
merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa di hindari
serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Masalah sosial terjadi bukan karena kesalahan
sistem, melainkan kesalahan individu yang bersangkutan. Misalnya, karena malas,
tidak memiliki jiwa wirausaha dan karakteristik budaya kemiskinan lainnya.
Solusi yang diajukan oleh para penganut “blaming the victim” ini pada intinya
membatasi peran pemerintah dan menekankan perubahan pada individu dan
kelompok-kelompok kecil Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu
yang harus di perjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih
sengsara saja.
Dengan pandangan
seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan
atau kekuasaan untuk merobah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang
yang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang terpenjara, menjadi
demikian karena kesalahan merka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang
ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Kaum miskin haruslah
sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada
akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum
konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan
menghindarkan konflik dan kontradiksi.
2. Paradigma
Liberal
Kaum liberal mendukung welfare state. Negara
merefleksikan kehendak individu dan dipilih berdasarkan perwakilan kelompok.
Negara memiliki legitimasi untuk mengatur dan bertindak. Tiga intervensi negara
yang diperlukan dalam pembangunan mencakup: (a) penciptaan distribusi
pendapatan, (b) stabilisasi mekanisme pasar swasta, dan (c) penyediaan barang-barang
publik (public goods) yang tidak mampu atau tidak efisien disediakan oleh
pasar. Individu dan kelompok adalah warga negara yang sehat, namun punya
potensi menjadi rentan (vulnerable) dan bermasalah dikarenakan adanya kesalahan
sistem atau lingkungan. “Blaming the system” adalah pandangan utama ideologi
ini. Masalah sosial, termasuk orang yang mengalaminya, diakibatkan bukan oleh
kesalahan individu yang bersangkutan, melainkan oleh kesalahan sistem.
3. Paradigma Struktural
Kaum strukturalis
memandang masalah sosial sebagai akibat adanya ketimpangan pada sistem atau
struktur sosial masyarakat. Masalah sosial adalah situasi tidak terhindarkan
dan akan selalu ada dalam sistem yang classist, sexist dan racist, karena
sistem seperti itu menciptakan ketidakadilan melalui perbedaan-perbedaan status
sosial. Keadaan ini akan semakin
membesar dan memburuk dalam sebuah sistem ekonomi kapitalis. Rakyat adalah
korban dan objek eksploitasi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan privilege.
Solusinya: rakyat harus berjuang memperoleh kekuasaan dan menjangkau
sumber-sumber. Sistem ekonomi, sosial dan politik harus diubah dan direstrukturisasi
secara menyeluruh, untuk mencapai pemerataan. Oleh karena itu muncul istilah ”
sama rata sama rasa”.
Para
penganut mazhab strukturalisme memiliki kesamaan pandangan dengan kaum liberal.
Mereka menganut faham “blaming the system” atau lebih tepatnya “blaming the
structure” serta paradigma kesejahteraan sosial yang bersandar pada model
institusional-radikal. Yang membedakannya dengan kaum liberalis adalah bahwa
pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan oleh kelompok strukturalis lebih
memfokuskan pada perubahan lingkungan pada aras makro. Analisis kebijakan
sosial, advokasi kelas dan aksi-aksi sosial dan politik adalah beberapa metoda
yang sering digunakan untuk melakukan perubahan sosial secara struktural dan
radikal. Skema perlindungan sosial, seperti social security,
welfare-to-work programmes, social safety nets, dan conditional cash transfer
adalah beberapa program yang umumnya diterapkan oleh mazhab ini. Di Indonesia
istilah yang muncul di kenal dengan “Pemberdayaan”.
Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. et all. 2004. Sosiologi
: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. (terjemahan : Ninik Rochani Sjams).
Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Ilham, Muhammad . Paradigma
Sosiologi - Teori Sosiologi Tahap Awal. http://islamkuno.com/
. diakses 21 Desember 2009
Maksum, Ali
& Ruhendi, Luluk Yunan. 2004. Paradigma
Pendidikan Universal : di Era Modern dan Post-modern, Mencari ”Visi Baru” atas ”Realitas Baru” Pendidikan Kita. Yogyakarta .
IrCisot.
Mustofa,
Chabib, Hand Out Teori Sosiologi Modern,
http://chabib.sunan-ampel.ac.id/
, diakses 21 Desember 2009
Nurcahyo, Andik.
Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sebuah Resume atas karya George
Ritzer). http://islamkuno.com/.
Diakses 21 Desember 2009
Poloma,
Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer
(terj. Tim Yosogama). Jakarta .
PT. Raja Grafindo Perkasa
Salim,
Dr.Agus, MS. 2006. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial : Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, edisi kedua. Yogyakarta . Tiara wacana.
Singgih, Doddy Sumbodo. Masalah-masalah sosial di indonesia : Pemahaman Konsep, Fokus Analisis,Skema Hubungan antar-variabel dan Metode
Analisis. http://www.journal.unair.ac.id.
Diakses 21 Desember 2009
SsosBud2_Sistem-Sosial-2 http://blog.binadarma.ac.id/anita/wp-content/uploads/2009/
12/SsosBud2_Sistem-Sosial-2.ppt
Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian
Kualitatif : Dasar Teori dan Terapanya Dalam Penelitian. Surakarta. Sebelas
Maret University Press
Wignjosoebroto, Prof. Soeutandyo, Hand out Mataajaran ”Teori-Teori Sosial
Tentang Hukum”, http://blog.unila.ac.id/pdih/files/,
diakses 21 Desember 2009
www.ahmadheryawan.com/.../3023-paradigma-pendidikan-di-ranah-politik. pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar