MEMBERDAYAKAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN
A.
Pendahuluan
Adalah
kisah Nasirudin Hoya. Ada
dua orang, Nasirudin dan anaknya yang
belum cukup dewasa sedang bepergian
dengan mengendarai seekor keledai. Ketika orang –orang melihat adegan itu
mereka berkata : ”orang kok tak tahu peri- kehewanan, masa keledai kecil begitu
dinaiki dua orang”. Maka si ayah
turun dan berunding dengan anaknya. Ayahnya berkata: ” nak kalau kita teruskan
perjalanan dengan menaiki keledai ini bersama,
maka keledai ini bisa mati kelelahan, bagai mana kalau kita bergantian menuntun
dan menaiki keledai ini”. Anak yang sholeh itupun menyetujui pendapat ayahnya.
Maka bapaknya turun menuntun keledainya,
sementara si anak tetap diatas punggung keledai. Sampai di suatu tempat, ada
sekelompok orang melihat kejadian
tersebut. Salah satu dari mereka berkata ” lihat anak tak tahu kesopanan, masa
ayah disuruh menuntun keledai sementara dia enak-enakan bertengger diatas
punggung keledai”. Si anakpun turun mempersilahkan ayahnya untuk bergantian naik
diatas punggung keledai dan bergantian
menuntunnya.
Perjalanan dilanjutkan
hingga sampai disuatu tempat. Sekelompok orang yang melihatnya, maka berkata ”
orang tua tak tahu diri, masak anak yang masih kecil disuruh menuntun keledai,
sementara ayahnya enak-enakan diatas”. Singkat cerita, akhirnya mereka
berunding dan keledai mereka panggul bersama. Ketika ada yang melihat adegan
itu, serentah berkata ” lihat ada ayah dan anak yang gila, masak keledai mereka
panggul mestinya keledai itu dinaiki ”. Itulah masyarakat melihat suatu
fenomena. Pemahaman mereka akan ”sesuatu” adalah apa yang mereka lihat saat itu,
ditempat itu (metafisis). Tanpa pernah menelaah ”sesuatu” itu , kenapa bisa
terjadi, megapa hal itu terjadi (epistimologi). Apalagi estetika dan etika (aksiologi)
masyarakat kita saat ini memang sangat
rendah sekali.
Postmodern, atau budaya
posmo, menjadikan masyarakatnya menjadi entisas konsumeristis dan
individualistis (Rizer:2003). Sehingga ”ukuran” atau ” nilai ” etika dan
estetika selalu diukur berdasarkan ”bajunya” sendiri.. Estetika dan etika yang
pada tataran kognitif dikatakan sebagai kearifan
sudah jauh bergeser dari kedudukan
tradisinya. Pada tingkat lokal (local
wisdom) sedikit demi sedikit terkikis oleh budaya global. Penulis tidak hendak mengkambing
hitamkan Posmodern atau lebih lanjut
globalisasi, tetapi secara jujur dikatakan kemajuan dibidang ICT (teknologi
informasi dan komunikasi) sedikit banyak telah membuat polusi budaya bagi kearifan lokal yang rapuh.
Budaya kumpul telah
tergantikan dengan SMS, budaya tourny
– turun kebawah – bagi pemimpin digantikan dengan teleconfrence, dan sebagainya. Etika yang muda sowan yang tua,
cukup diganti dengan beberapa baris kata – dengan disingkat-singkat lagi - dalam
layar kaca Hand Phone. Instan. Ya
budaya instan. Budaya cepat saji. Kearifan lokal ” mangan
ra mangan yen kumpul ”, kumpul (berstaunya) kawulo dengan kawulo (
habluminannass ) dan kawulo dengan gusti (habluminallah) masyarakat jawa, pela
gadong yang ”mengumpulkan” masyarakat
Islam dan Kristen di Maluku, awig- awig di Bali, sebagai kearifan lokal kian hari
hilang tanpa pesan.
Ada yang menuduh lunturnya
kearifan lokal bersifat sistemik. Pemerintah dengan produk hukumnya secara
sistematis telah menyebabkan kearifan lokal termarjinalisasi, dengan dalih
stabilitas demi pembangunan. Pemaksaan kebijakan ke Indonesiaan, keseragaman
dan keasatuan diyakini sebagai penyebab hilangnya kultur kedaerahan, yang berupa kearifan lokal.
Sekolah, sebagai the
agent of change diharapkan mampu mengembalikan dan mengurangi kesenjangan
kearifan lokal dengan situasi budaya instant yang kian marak dimasyarakat. Atau
sebaliknya, dapatkah kearifan lokal yang sudah kian pasi di reaktualisasi sebagai strategi membangun
pendidikan di Indonesia ?. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang di tetapkan penerapanya tahun 2006 memberikan peluang pembelajaran dan pencerahan kearifan lokal
dalam struktur kurikulum muatan lokal. Seperti dijelaskan dalam KTSP; ”muatan
lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah,
yang mata pelajarannya tidak dapat
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada”. Sayangnya implementasi di
sekolah muatan lokal hanya di terjemahkan sebagai bahasa daerah. Mestinya secara
substansial, muatan lokal jauh melampaui sekedar bahasa daerah, tetapi adalah
kekayaan nilai etika, estetika budaya daerah setempat, yang lebih jauh
dikatakan sebagai KEARIFAN LOKAL.
B. Menyoal Kearifan
Lokal
1. Kearifan Lokal dalam Pengertianya
Siani KM ( 2005,
sebagaimana dikutip oleh Istiyanti Idrus :2008 ) memberikan penjelasan;
kearifan lokal sebagai sikap, pandangan dan kemampuan komunitas didalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, sehingga memberikan kepada
komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu
berada. Dalam mengelola lingkungan tentunya tak lepas dari kreatifitas estetik
sesuai dengan letak geografis, etno-sosial komunitasnya . Selanjutnya Greertz
menekankan pada nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat, sehingga
memberikan penjelasan kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan
harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.
Yang
dimaksud nilai-nilai disini bukan sekedar orang tahu tentang sesuatu (knowing
that), namun juga bisa memiliki kerangka penalaran tentang bagaimana
mengetahui (knowing how) sebagai bentuk tacit knowledge (TK). Lebih lanjut Peterson
dan Seligman (Leary, 2005) memaparkan dari sudut pengertian psikologi sosial
melihat kearifan sebagai pengetahuan diri, menggali makna dan hubungannya
secara lebih luas, memiliki perspektif luas, mengambil perspektif orang lain
dalam pertimbangannya, mempunyai pandangan akurat mengenai kelebihan dan
kekurangan dirinya (termasuk batas-batas apa yang dapat dilakukan), dan melihat
dengan hati-hati terhadap
persoalan-persoalan penting. Pribadi arif berarti ia tidak saja melihat
kearifan dari segi dirinya sendiri tetapi juga melihat dari dalam dirinya dan
itu digunakan untuk membantu menopang kesejahteraan orang lain. Tampak disini Peterson
dan Seligman lebih menekankan kepada etika
. Etika sebagai individu maupun sebagai anggota suatu komunitas.
Jadi
kearifan lokal, secara personal dapat diartikan sebagai kemampuan estetika
dalam mengapresiasi kekayaan lingkungan rohani dan jasmani dalam upaya mencapai
harkat dan martabat dirinya dan kemampuan dalam etika bermasyarakat dan
bersosialisasi sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas di suatu
daerah. Hal ini sejalan dengan Kohlberg yang menegaskan bahwa kearifan tidak
hanya kemampuan berfikir untuk diri sendiri, tetapi juga mencakup pandangan
tentang orang lain ( the others ).Dan Sternberg (:2004) mengatakan kearifan
sebagai pengetahuan yang menyeimbangkan kehidupan manusia. Menurutnya, disetiap
kehidupan , orang akan membentuk nilai dirinya tidak hanya tergantung pada keinginan
dominan dirinya, tetapi juga tergantung pada tujuan untuk mencapai kebaikan
secara umum dalam masyarakat. Lebih dalam lagi , kearifan lokal merupakan
evolusi pengetahuan masyarakat yang bermetamorfosis sebagai sumber energi
potelsial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup secara
dinamis dalam kedamaian.( Nurma Ali Ridwan : 2007 dari Teezzi, et all - http//library.witpress.com/pages/preparinfo.asp.
)
2. Kearifan Lokal dalam Nestapa
Barang
kali ” memahami orang lain ” inilah yang sekarang tinggal samar-samar. Secara
kasat mata, konflik yang terjadi dalam masyarakat selama ini adalah dikarenakan
kurangnya kemampuan memahami orang lain. Keakuan (ego) secara individu maupun
kelompok (agama, partai, suku, institusi), begitu kuat dan masif. Diakui atau tidak, ini akibat dari peran
pemerintah Orde Baru yang memaksakan ”stabilitas ”. UU No. 5 tahun 1979, azas
tunggal 1983, Penataran P4 adalah contoh pengebirian kreativitas masyarakat
dalam ber-kearifan lokal. Kearifan lokal dikikis oleh kekuatan Indonesianisasi
sehingga kehidupan sehari-hari menjadi terdistorsi oleh nasionalisme baru
(prototipe keseharian desa, lama-kelamaan terkikis)
Nicola Frost (2004) dikutip oleh Marzali (2005)
menuduh lunturnya kearifanlokal disebabkan oleh diberlakukannya UU No. 5 tahun
1979, tentang Pemerintahan Desa . Dengan diterapkanya UU ini maka pengakuan
institusi lokal menjadi tidak berfungsi, yang pada giliranya terjadilah konflik
horisontal seperti yang terjadi : Islam
–Kristen di Ambon, Dayak-Madura di Sambas -Pontianak, Betawi-Madura di Cakung
dan Kramatjati . Lebih lanjut Frost mengatakan; UU No. 5 tahun 1979 telah
menghilangkan kemampuan untuk mengkooptasi perbedaan-perbedaan yang sebelumnya
hidup dalam masyarakat.
Lain
lagi, Rieke Diah Pitaloka, artis yang telah menyelesaikan studi S2-nya dari
Universitas Indonesia, mengatakan; ”Kekerasan yang dilakukan pemerintah selama
ini (Orde Baru) telah menular kepada masyarakat. Praktek otoritarian, seperti
tindakan represif, mengadili orang tanpa bukti, memeras hak-hak ekonomi dan politik rakyat, dan sejenisnya menciptakan transfer bentuk otoritarian itu
kedalam sikap dan tindakan masyarakat”.
Keseragaman ideologi ( azas tunggal 1983 ), ditekankan demi kata sakti ”pembangunan”. Visi dan idiologi
pembangunan yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan fisik
yang semuanya bersifat material , lebih diutamakan dari pada pembangunan
spiritual dan kearifan lokal. Sehingga kearifan lokal seperti nilai-nilai
kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan banyak terkikis
dari kedalaman lingkungan budaya masyarakat.
Banyak produk hukum yang hanya untuk
kepentingan sesaat, tanpa memikirkan kepentingan secara umum dan jangka panjang.
Contoh : UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, sedikit banyak menyebabkan dekadensi moral pemimpin daerah,
yang menjadi raja-raja kecil. UU Pornografi yang baru saja disyahkan, ternyata
banyak daerah yang menentang dan menyatakan tidak dapat diterapkan. Padahal dalam
amandemen UUD 1945 Bab XIII, pasal 32, butir 1 dinyataka; negara memajukan
budaya Nasional Indonesia ditengah-tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya,
Yang
lebih memperparah rapuhnya kearifan lokal adalah kemajuan dibidang teknologi
informasi komunikasi ( ICT ) , yang ”memaksa” orang desa iri pada orang kota. Gaya
hidup kota telah mengambil-alih gaya hidup orang desa. Memang ini sebuah
keniscayaan namun ketika kecenderungan yang kuat modernisme menjadi bagian dari
infiltrasi kognitif agar orang desa juga patuh pada instansi gaya hidup modernisme
justru identitas desa tidak lagi dipandang secara bijaksana (wisdom) ( Mahpur :
2008 ). Tayangan-tanyangan televisi
( swasta ) yang tidak menggambarkan budaya bangsa,
tetapi lebih mengajarkan pada kekerasan ( tayangan berita yang vulgar, yang
hanya berkonsentrasi pada kebebasan pers ), konsumeristis , individualistis, hedonis
[tayangan sinetron yang hanya memuaskan
pemirsa (Deming-an), juga infotaimen yang mengajarkan social imitation ]. Untung
masih ada televisi yang dikelola daerah seperti; JTV, TATV, JogjaTV, dan daerah
lain yang menayangkan kasanah kekayaan budaya lokal, yang subtansinya adalah
kearifan lokal.
3. Kearifan Lokal dalam Budaya
Ya,
kearifan ”untung” ini yang menjadikan
masyarakat jawa bertahan hidup menderita. Seberat apapun orang jawa mendapat
musibah atau penderitaan, dia akan
berkata masih untung. Suatu contoh ada seseorang yang tertabrak sepeda motor,
bila sakitnya ringan, orang jawa akan mengatakan ” untung mung lecet ” ( untung hanya lecet ), kalau agak parah,
kakinya patah misal, maka akan dikatakan ” untung mung sikile sing tugel, ora
mati ” ( untung hanya kakinya yang patah, tidak sampai meninggal ). Kalau
sampai meninggal, maka akan dikatakan ” untung mati, nek urip rak nandang
loro/cacat ” ( untung meninggal, kalau hidup kan merasa sakit/cacat ). Tetap
untung kan.
Dahulu
kala orang tua kita mengajarkan kearifan
dengan sanepo, parikan, peri bahasa, atau simbol-simbol tersamar yang kelihatanya
”tidak realistis”. Ambil contoh , pada kalimat ” mangan ra mangan yen ngumpul ”
( makan tak makan asal selalu bersama ). Kalimat ini adalah di ucapkan Raja
Mangunegara I ketika terkepung oleh tentara Belanda (Ismail : 1990 hal. 196)
. Ini mengandung maksud spirit
transendental, dimana ketika manusia sudah terpepet dalam suatu keadaan yang
genting maka berpasrah kepada Allah SWT adalah jalan yang terbaik. Mangan
mempunyai arti masih hidup, ra mangan berarti sudah mati, kumpul mengandung
maksud berkumpul ( baca kembali ) dengan Tuhan. Jadi ’mangan ra mangan yen
kumpul ” mempunyai arti hidup atau mati tetap berpasrah kepada Ilahi. Karena
diucapkan melalui simbol *) maka
banyak orang menyalah artikan sebagai apa adanya **) ” makan tak makan asal selalu bersama ”. Bila
diterapkan pada jaman sekarang jelas tidak pernah jumbuh ( cocok ). Karena orang jaman sekaran pasti memilih ”
kumpul tak kumpul asal makan ” (= kumpul sudah diganti sms )
Ada
lagi ajaran-ajaran etika seperti ; ” ojo mangan ning tengah lawang, ora ilok ”. ” cah wadon yen nyapu sing
resik, ora ilok, mengko yen oleh bojo
ndak brewok”. ” cah langan yen turu ojo kemul jarik, ora ilok ” dan lain sebagainya. Ora ilok ( tidak baik ) adalah frasa yang banyak
digunakan untuk menggambarkan suatu perbuatan – perbuatan itu terlarang karena tidak pada tempatnya atau tidak sopan. Inilah cara mengajarkan etika
kesopanan, budi pekerti dengan simbol-simbol.
Kearifan
lokal tumbuh dan berkembang karena adanya interaksi tingkah laku individu dalam
komunitas terhadap lingkungan fisiknya. Interaksi ini terjadi secara terus
menerus dalam waktu yang panjang dengan kemampuan kognitif individu maupun
kelompok sebagai upaya menetapkan pilihan-pilihan nilai yang diinginkan
bersama, yang paling tepat bagi dinamika hidupnya dalam kedamaian. Meminjam dari Teezzi, Marchettini dan Rossini ; kearifan lokal merupakan kekuatan potensial atau spririt ( zen ) dalam
hidup bermasyarakat. Ingat, Jepang maju karena Zen Budhism, China maju karena
Zen Taoism, yang tak lebih dari pemberdayaan kearifan lokal.
*) Ferdinand de Saussure mengatakan ” bahasa adalah mempunyai sistem
dan regulasi yang berfungsi sebagai fasilitator pelaksana kebahasaan yang dapat
menunjukkan tanda-tanda ( simbol ) yang
berupa ”kata” dan ”konsep”.
**) Jacques Derrida: ”kata” dan ”konsep” tidak menjamin komunikasi
ideal. ”Kata” selalu mengandung echoes
( gema ) dan memiliki kesaman
dengan kata lain, jadi bersifat ambigu. (George Rizer : 2003 )
Menurut
teori Human Ecology terdapat hubungan
timbal balik antara lingkungan dengan tingkah laku. Lingkungan dapat membentuk
tingkah laku, tingkah laku merupakan karakter lingkungan. Pengakuan tehadap
seting tingkah laku ( bihavior setting ) merupakan sebuah faktor dalam
interaksi sosial dalam komunitas karena pengaruh lingkungan fisik ( physical
millue) .
4. Kearifan Lokal dalam Strategi Pengembangan Pendidikan
Dinamika dalam kedamaian, barangkali ini adalah
ciri atau karakter masyarakat Jawa. ” Mangan ra mangan yen kumpul ”, ” rukun
agawe sentosa, crah agawe bubrah”, ” alon-alon waton kelakon ”, ” sing sopo
nandur, ngunduh”. , adalah contoh kalimat-kalimat yang menggambarkan kearifan
lokal, yang muaranya keinginan hidup damai bersama masyarakatnya. Jagong, cakruk, gotong royong adalah
simbol-simbol berkumpulnya banyak orang. Momen-momen seperti inilah yang dahulu
digunakan Sunan Kalijogo menyampaikan dahwahnya. Hingga sampai sekarang, tablik dipandang lebih berhasil dari pada taklim dalam dahwah (walau perlu penelitian untuk mengukur daya
serap pesan apa yang disampaikan).
Kalau
budaya kumpul, budaya berkelompok, adalah karakter masyarakat jawa, maka kurikulum disusun lebih memusatkan perhatian pada
problem-problem yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada
aliran pendidikan interaksional, yang berpandangan bahwa pendidikan bukan upaya
sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi kerja sama. Kerja sama atau
interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru, tetapi juga antara
siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungannya, dan dengan
sumber belajar lainya. Melalui interaksi dan kerja sama ini siswa berusaha
memecahkan problem-problem yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan
masyarakat yang lebih baik.
Guru harus dapat melakukan kajian kritis terhadap
kebudayaan dimana mereka tinggal. Mereka harus mencari penyebab kotroversi,
konflik dan inkonsistensi yang selanjutnya mengekplorasi dan menyelesaikanya. Program pendidikan harus menekankan pada : 1). Secara kritis mengkaji
kekayaan budaya, 2). Tidak takut menkaji isu-isu sosial yang kontroversial, 3).
Berkomitmen membawa perubahan sosial masyarakat yang konstruktif, 4). Mengelola
rancangan tingkah laku dan 5). Melibatkan guru dan murid dalam program
perubahan sosial, pendidikan, politik dan ekonomi sebagai sarana perubahan
kebudayaan secara menyeluruh. (Ornstein dan Levine 2003 : 226)
Faham pendidikan tersebut
diatas adalah faham Rekonstruksi sosial. Faham Rekonstruksi sosial berkomitmen kuat pada persamaan ( equality ) atau
keadilan ( equity ) dalam masyarakat dan pendidikan. Bagi mereka batas kelas
sosioekonomi dan pembedaan warna kulit
harus diindentifikasi kembali, dikaji dan dihapuskan.Bagi guru, sekolah harus
dapat digunakan sebagai agen perubahan sosial dan meningkatkan kualitas hidup
manusia. Guru tidak hanya sebagai pendidik, sebagai komentator netral, tetapi
juga sebagai ujung tombak pengenalan dan perubahan sosial ( baca lingkungannya
).
Pendidikan diharapkan
mampu membangun kembali konsep-konsep yang rusak dari ilmu pengetahuan,
pendidikan dan sekolah, selain itu instruksi dan inisiatif harus direncanakan
lebih hati-hati untuk menciptakan pendidikan menuju perubahan sosial.
Pendidiakan dirancang untuk membangun kesadaran siswa tentang masalah sosial
dan melibatkan dirinya untuk menyelesaikan masalah. Siswa dibawa untuk mengkaji
isu-isu kontroversial di masyarakat. Jadi diharapkan sekolah menjadi agen
perubahan sosial.
Ide penerapan faham ini kelihatan utopik, karena
ada keinginan meredam konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Namun
penjelasanya sebenarnya mudah. Silaturahmi dapat menambah rezeki, memperpanjang
umur dan hidup dalam kedamaian.
C. PENUTUP
Kearifan
Lokal adalah khasanah kekayaan intelektual dalam masyarakat. Hal itu dicapai
melewati perjalanan waktu yang panjang, dengan berbagai percobaan-percobaan
hidup untuk mencapai suatu keharmonisan bersama. Ini harus diberi ruang untuk
berkembang dan mempertahankan diri. Dengan dalih apapun pemerintah tak berhak
mengekang apalagi memenjarakan melalui berbagai perangkat hukum ciptaanya. UUD 1945
sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia telah mempunyai kearifan untuk
memajukan budaya anak bangsa dalam hiruk pikuk perkembangan budaya global yang
gila.
Pendidikan
harus kembali menengok jati diri masyarakatnya melaui kekayaan kearifan yang
dimiliki. Kearifan Lokal adalah akar yang menghujam dalam-dalam yang
menyebabkan masyarakat tetap bertahan hidup dalam keharmonisan .Bila ini
terabaikan, -apalagi terkooptasi untuk kepentingan mempertahankan hegemoni
politik status quo-maka akar itu akan tercabut, yang pada gilirannya menyisakan
konflik-konflik horisontal yang berkepanjangan . Belajar dari Jepang dan China adalah suatu
kearifan tersendiri, sesuai petuah ” carilah ilmu walau sampai negeri cina ”
Sumber
Kukla, Andre, 2003, Konstruktivisme Social dan Filsafat Ilmu, (terj. Hari Kusharyanto) ,Penerbit Jendela ,Yogyakarta
Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi,
2004, Paradigma Pendidikan Universal di
Era Modern dan Postmodern : Mencari “
Visi Baru “ atas “ Realitas Baru “ Pendidikan Kita, SircisoD
Ahmad, Haidlor Ali. 2006 . Kearifan Lokal Menuju Keharmonisan Hidup Beragama Di Desa Gempolan, Gura, Kediri, Jawa Timur. Makalah yang diseminarkan ( publikasi ) dalam “ Temu Peneliti di Lingkungan Badan itbang dan Diklat Departeme Agama RI 2006” di Jaya Raya Hotel Cipayung Bogor , 1-4 Mei 2006
Mahpur
, Mohammad , Mar 8th, 2008 , Hibriditas dan Menyoal
Kearifan Lokal , : Jurnal Budaya,
Puspek Averroes
Ornstein, Allan.c
and Daniel U. Levine,2004, foundations of Education, fourth
edition,
Houghton Mifflin Company, Boston
Tidak ada komentar:
Posting Komentar