Minggu, 05 Februari 2012

kearifan lokal


MEMBERDAYAKAN  KEARIFAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI PERKEMBANGAN PENDIDIKAN


A.   Pendahuluan

            Adalah kisah Nasirudin Hoya. Ada dua orang, Nasirudin  dan anaknya yang belum cukup dewasa  sedang bepergian dengan mengendarai seekor keledai. Ketika orang –orang melihat adegan itu mereka berkata : ”orang kok tak tahu peri- kehewanan, masa keledai kecil begitu dinaiki dua orang”. Maka si ayah turun dan berunding dengan anaknya. Ayahnya berkata: ” nak kalau kita teruskan perjalanan dengan menaiki keledai  ini bersama, maka keledai ini bisa mati kelelahan, bagai mana kalau kita bergantian menuntun dan menaiki keledai ini”. Anak yang sholeh itupun menyetujui pendapat ayahnya. Maka bapaknya turun  menuntun keledainya, sementara si anak tetap diatas punggung keledai. Sampai di suatu tempat, ada sekelompok orang melihat  kejadian tersebut. Salah satu dari mereka berkata ” lihat anak tak tahu kesopanan, masa ayah disuruh menuntun keledai sementara dia enak-enakan bertengger diatas punggung keledai”. Si anakpun turun  mempersilahkan ayahnya untuk bergantian naik diatas punggung keledai dan  bergantian menuntunnya.
            Perjalanan dilanjutkan hingga sampai disuatu tempat. Sekelompok orang yang melihatnya, maka berkata ” orang tua tak tahu diri, masak anak yang masih kecil disuruh menuntun keledai, sementara ayahnya enak-enakan diatas”. Singkat cerita, akhirnya mereka berunding dan keledai mereka panggul bersama. Ketika ada yang melihat adegan itu, serentah berkata ” lihat ada ayah dan anak yang gila, masak keledai mereka panggul mestinya keledai itu dinaiki ”. Itulah masyarakat melihat suatu fenomena. Pemahaman mereka akan ”sesuatu” adalah apa yang mereka lihat saat itu, ditempat itu (metafisis). Tanpa pernah menelaah ”sesuatu” itu , kenapa bisa terjadi, megapa hal itu terjadi (epistimologi). Apalagi estetika dan etika (aksiologi) masyarakat  kita saat ini memang sangat rendah sekali.
            Postmodern, atau budaya posmo, menjadikan masyarakatnya menjadi entisas konsumeristis dan individualistis (Rizer:2003). Sehingga ”ukuran” atau ” nilai ” etika dan estetika selalu diukur berdasarkan ”bajunya” sendiri.. Estetika dan etika yang pada tataran kognitif dikatakan sebagai kearifan sudah jauh  bergeser dari kedudukan tradisinya. Pada tingkat lokal  (local wisdom) sedikit demi sedikit terkikis oleh budaya global. Penulis tidak hendak mengkambing hitamkan  Posmodern atau lebih lanjut globalisasi, tetapi secara jujur dikatakan kemajuan dibidang ICT (teknologi informasi dan komunikasi) sedikit banyak telah membuat polusi budaya bagi  kearifan lokal yang rapuh.
            Budaya kumpul telah tergantikan dengan SMS, budaya tourny – turun kebawah – bagi pemimpin digantikan dengan teleconfrence, dan sebagainya. Etika yang muda sowan yang tua, cukup diganti dengan beberapa baris kata – dengan disingkat-singkat lagi - dalam layar kaca Hand Phone. Instan. Ya budaya instan. Budaya cepat saji. Kearifan lokal  mangan ra mangan yen kumpul ”, kumpul (berstaunya) kawulo dengan kawulo ( habluminannass ) dan kawulo dengan gusti (habluminallah) masyarakat  jawa, pela gadong  yang ”mengumpulkan” masyarakat Islam dan Kristen di Maluku, awig- awig  di Bali, sebagai kearifan lokal kian hari hilang tanpa pesan.
            Ada yang menuduh lunturnya kearifan lokal bersifat sistemik. Pemerintah dengan produk hukumnya secara sistematis telah menyebabkan kearifan lokal termarjinalisasi, dengan dalih stabilitas demi pembangunan. Pemaksaan kebijakan ke Indonesiaan, keseragaman dan keasatuan diyakini sebagai penyebab hilangnya kultur kedaerahan,  yang berupa kearifan lokal.
            Sekolah, sebagai  the agent of change diharapkan mampu mengembalikan dan mengurangi kesenjangan kearifan lokal dengan situasi budaya instant yang kian marak dimasyarakat. Atau sebaliknya, dapatkah kearifan lokal yang sudah kian pasi  di reaktualisasi sebagai strategi membangun pendidikan di Indonesia ?.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang di tetapkan penerapanya tahun 2006 memberikan peluang  pembelajaran dan pencerahan kearifan lokal dalam struktur kurikulum muatan lokal. Seperti dijelaskan dalam KTSP; ”muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang mata pelajarannya  tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada”. Sayangnya implementasi di sekolah muatan lokal hanya di terjemahkan  sebagai bahasa daerah. Mestinya secara substansial, muatan lokal jauh melampaui sekedar bahasa daerah, tetapi adalah kekayaan nilai etika, estetika budaya daerah setempat, yang lebih jauh dikatakan sebagai KEARIFAN LOKAL.

B. Menyoal Kearifan Lokal

1.      Kearifan Lokal dalam Pengertianya

            Siani KM ( 2005, sebagaimana dikutip oleh Istiyanti Idrus :2008 ) memberikan penjelasan; kearifan lokal sebagai sikap, pandangan dan kemampuan komunitas didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, sehingga memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dalam mengelola lingkungan tentunya tak lepas dari kreatifitas estetik sesuai dengan letak geografis, etno-sosial komunitasnya . Selanjutnya Greertz menekankan pada nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat, sehingga memberikan penjelasan kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.
            Yang dimaksud nilai-nilai disini bukan sekedar orang tahu tentang sesuatu (knowing that), namun juga bisa memiliki kerangka penalaran tentang bagaimana mengetahui (knowing how) sebagai bentuk tacit knowledge (TK). Lebih lanjut Peterson dan Seligman (Leary, 2005) memaparkan dari sudut pengertian psikologi sosial melihat kearifan sebagai pengetahuan diri, menggali makna dan hubungannya secara lebih luas, memiliki perspektif luas, mengambil perspektif orang lain dalam pertimbangannya, mempunyai pandangan akurat mengenai kelebihan dan kekurangan dirinya (termasuk batas-batas apa yang dapat dilakukan), dan melihat dengan hati-hati  terhadap persoalan-persoalan penting. Pribadi arif berarti ia tidak saja melihat kearifan dari segi dirinya sendiri tetapi juga melihat dari dalam dirinya dan itu digunakan untuk membantu menopang kesejahteraan orang lain. Tampak disini Peterson dan Seligman lebih menekankan kepada etika . Etika sebagai individu maupun sebagai anggota suatu komunitas.
            Jadi kearifan lokal, secara personal dapat diartikan sebagai kemampuan estetika dalam mengapresiasi kekayaan lingkungan rohani dan jasmani dalam upaya mencapai harkat dan martabat dirinya dan kemampuan dalam etika bermasyarakat dan bersosialisasi sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas di suatu daerah. Hal ini sejalan dengan Kohlberg yang menegaskan bahwa kearifan tidak hanya kemampuan berfikir untuk diri sendiri, tetapi juga mencakup pandangan tentang orang lain ( the others ).Dan Sternberg (:2004) mengatakan kearifan sebagai pengetahuan yang menyeimbangkan kehidupan manusia. Menurutnya, disetiap kehidupan , orang akan membentuk nilai dirinya tidak hanya tergantung pada keinginan dominan dirinya, tetapi juga tergantung pada tujuan untuk mencapai kebaikan secara umum dalam masyarakat. Lebih dalam lagi , kearifan lokal merupakan evolusi pengetahuan masyarakat yang bermetamorfosis sebagai sumber energi potelsial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup secara dinamis dalam kedamaian.( Nurma Ali Ridwan : 2007 dari Teezzi, et all - http//library.witpress.com/pages/preparinfo.asp. )

2.      Kearifan Lokal  dalam Nestapa 

            Barang kali ” memahami orang lain ” inilah yang sekarang tinggal samar-samar. Secara kasat mata, konflik yang terjadi dalam masyarakat selama ini adalah dikarenakan kurangnya kemampuan memahami orang lain. Keakuan (ego) secara individu maupun kelompok (agama, partai, suku, institusi), begitu kuat dan masif.  Diakui atau tidak, ini akibat dari peran pemerintah Orde Baru yang memaksakan ”stabilitas ”. UU No. 5 tahun 1979, azas tunggal 1983, Penataran P4 adalah contoh pengebirian kreativitas masyarakat dalam ber-kearifan lokal. Kearifan lokal dikikis oleh kekuatan Indonesianisasi sehingga kehidupan sehari-hari menjadi terdistorsi oleh nasionalisme baru (prototipe keseharian desa, lama-kelamaan terkikis)
             Nicola Frost (2004) dikutip oleh Marzali (2005) menuduh lunturnya kearifanlokal disebabkan oleh diberlakukannya UU No. 5 tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa . Dengan diterapkanya UU ini maka pengakuan institusi lokal menjadi tidak berfungsi, yang pada giliranya terjadilah konflik horisontal seperti yang terjadi  : Islam –Kristen di Ambon, Dayak-Madura di Sambas -Pontianak, Betawi-Madura di Cakung dan Kramatjati . Lebih lanjut Frost mengatakan; UU No. 5 tahun 1979 telah menghilangkan kemampuan untuk mengkooptasi perbedaan-perbedaan yang sebelumnya hidup dalam masyarakat.
            Lain lagi, Rieke Diah Pitaloka, artis yang telah menyelesaikan studi S2-nya dari Universitas Indonesia, mengatakan; ”Kekerasan yang dilakukan pemerintah selama ini (Orde Baru) telah menular kepada masyarakat. Praktek otoritarian, seperti tindakan represif, mengadili orang tanpa bukti, memeras hak-hak ekonomi  dan politik rakyat, dan sejenisnya  menciptakan transfer bentuk otoritarian itu kedalam sikap dan tindakan masyarakat”.  Keseragaman ideologi ( azas tunggal 1983 ), ditekankan demi kata sakti ”pembangunan”. Visi dan idiologi pembangunan yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan fisik yang semuanya bersifat material , lebih diutamakan dari pada pembangunan spiritual dan kearifan lokal. Sehingga kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan banyak terkikis dari kedalaman lingkungan budaya masyarakat.
             Banyak produk hukum yang hanya untuk kepentingan sesaat, tanpa memikirkan kepentingan secara umum dan jangka panjang. Contoh :  UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sedikit banyak menyebabkan dekadensi moral pemimpin daerah, yang menjadi raja-raja kecil. UU Pornografi yang baru saja disyahkan, ternyata banyak daerah yang menentang dan menyatakan tidak dapat diterapkan. Padahal dalam amandemen UUD 1945 Bab XIII, pasal 32, butir 1 dinyataka; negara memajukan budaya Nasional Indonesia ditengah-tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya,
            Yang lebih memperparah rapuhnya kearifan lokal adalah kemajuan dibidang teknologi informasi komunikasi ( ICT ) , yang ”memaksa” orang desa iri pada orang kota. Gaya hidup kota telah mengambil-alih gaya hidup orang desa. Memang ini sebuah keniscayaan namun ketika kecenderungan yang kuat modernisme menjadi bagian dari infiltrasi kognitif agar orang desa juga patuh pada instansi gaya hidup modernisme justru identitas desa tidak lagi dipandang secara bijaksana (wisdom) ( Mahpur : 2008 ). Tayangan-tanyangan televisi
( swasta ) yang tidak menggambarkan budaya bangsa, tetapi lebih mengajarkan pada kekerasan ( tayangan berita yang vulgar, yang hanya berkonsentrasi pada kebebasan pers ), konsumeristis , individualistis, hedonis  [tayangan sinetron yang hanya memuaskan pemirsa (Deming-an), juga infotaimen yang mengajarkan social imitation ]. Untung masih ada televisi yang dikelola daerah seperti; JTV, TATV, JogjaTV, dan daerah lain yang menayangkan kasanah kekayaan budaya lokal, yang subtansinya adalah kearifan lokal.

3.      Kearifan Lokal dalam Budaya

            Ya, kearifan  ”untung” ini yang menjadikan masyarakat jawa bertahan hidup menderita. Seberat apapun orang jawa mendapat musibah  atau penderitaan, dia akan berkata masih untung. Suatu contoh ada seseorang yang tertabrak sepeda motor, bila sakitnya ringan, orang jawa akan mengatakan ” untung mung lecet ”     ( untung hanya lecet ), kalau agak parah, kakinya patah misal, maka akan dikatakan ” untung mung sikile sing tugel, ora mati ” ( untung hanya kakinya yang patah, tidak sampai meninggal ). Kalau sampai meninggal, maka akan dikatakan ” untung mati, nek urip rak nandang loro/cacat ” ( untung meninggal, kalau hidup kan merasa sakit/cacat ). Tetap untung kan.
            Dahulu kala orang tua kita mengajarkan  kearifan dengan sanepo, parikan, peri bahasa, atau simbol-simbol tersamar yang kelihatanya ”tidak realistis”. Ambil contoh , pada kalimat ” mangan ra mangan yen ngumpul ” ( makan tak makan asal selalu bersama ). Kalimat ini adalah di ucapkan Raja Mangunegara I ketika terkepung oleh tentara Belanda (Ismail : 1990 hal. 196) .  Ini mengandung maksud spirit transendental, dimana ketika manusia sudah terpepet dalam suatu keadaan yang genting maka berpasrah kepada Allah SWT adalah jalan yang terbaik. Mangan mempunyai arti masih hidup, ra mangan berarti sudah mati, kumpul mengandung maksud berkumpul ( baca kembali ) dengan Tuhan. Jadi ’mangan ra mangan yen kumpul ” mempunyai arti hidup atau mati tetap berpasrah kepada Ilahi. Karena diucapkan melalui simbol *)  maka banyak orang menyalah artikan sebagai apa adanya **)  ” makan tak makan asal selalu bersama ”. Bila diterapkan pada jaman sekarang jelas tidak pernah jumbuh ( cocok ). Karena orang jaman sekaran pasti memilih ” kumpul tak kumpul asal makan ” (= kumpul sudah diganti sms )      
            Ada lagi ajaran-ajaran etika seperti ; ” ojo mangan ning tengah lawang, ora ilok ”. ” cah wadon yen nyapu sing resik, ora ilok, mengko yen oleh bojo ndak brewok”. ” cah langan yen turu ojo kemul jarik, ora ilok ” dan lain sebagainya. Ora ilok  ( tidak baik ) adalah frasa yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu perbuatan – perbuatan itu terlarang  karena tidak pada tempatnya atau  tidak sopan. Inilah cara mengajarkan etika kesopanan, budi pekerti dengan simbol-simbol.
            Kearifan lokal tumbuh dan berkembang karena adanya interaksi tingkah laku individu dalam komunitas terhadap lingkungan fisiknya. Interaksi ini terjadi secara terus menerus dalam waktu yang panjang dengan kemampuan kognitif individu maupun kelompok sebagai upaya menetapkan pilihan-pilihan nilai yang diinginkan bersama, yang paling tepat bagi dinamika hidupnya dalam  kedamaian. Meminjam dari  Teezzi, Marchettini dan Rossini ;  kearifan lokal merupakan  kekuatan potensial atau spririt ( zen ) dalam hidup bermasyarakat. Ingat, Jepang maju karena Zen Budhism, China maju karena Zen Taoism, yang tak lebih dari pemberdayaan kearifan lokal.         

*) Ferdinand de Saussure  mengatakan ” bahasa adalah mempunyai sistem dan regulasi yang berfungsi sebagai fasilitator pelaksana kebahasaan yang dapat menunjukkan tanda-tanda ( simbol )  yang berupa ”kata” dan ”konsep”.
**) Jacques Derrida:  ”kata” dan ”konsep” tidak menjamin komunikasi ideal. ”Kata”  selalu mengandung echoes            ( gema ) dan memiliki kesaman dengan kata lain, jadi bersifat ambigu. (George Rizer : 2003 )
            Menurut teori Human Ecology terdapat hubungan timbal balik antara lingkungan dengan tingkah laku. Lingkungan dapat membentuk tingkah laku, tingkah laku merupakan karakter lingkungan. Pengakuan tehadap seting tingkah laku ( bihavior setting ) merupakan sebuah faktor dalam interaksi sosial dalam komunitas karena pengaruh lingkungan fisik ( physical millue) .

4.      Kearifan Lokal  dalam  Strategi Pengembangan  Pendidikan

            Dinamika dalam kedamaian, barangkali ini adalah ciri atau karakter masyarakat Jawa. ” Mangan ra mangan yen kumpul ”, ” rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah”, ” alon-alon waton kelakon ”, ” sing sopo nandur, ngunduh”. , adalah contoh kalimat-kalimat yang menggambarkan kearifan lokal, yang muaranya keinginan hidup damai bersama masyarakatnya. Jagong, cakruk, gotong royong adalah simbol-simbol berkumpulnya banyak orang. Momen-momen seperti inilah yang dahulu digunakan Sunan Kalijogo menyampaikan dahwahnya. Hingga sampai sekarang, tablik dipandang  lebih berhasil dari pada taklim dalam dahwah (walau perlu penelitian untuk mengukur daya serap pesan apa yang disampaikan).
              Kalau budaya kumpul, budaya berkelompok, adalah karakter masyarakat jawa, maka kurikulum disusun  lebih memusatkan perhatian pada problem-problem yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional, yang berpandangan bahwa pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi kerja sama. Kerja sama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungannya, dan dengan sumber belajar lainya. Melalui interaksi dan kerja sama ini siswa berusaha memecahkan problem-problem yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
            Guru harus dapat melakukan kajian kritis terhadap kebudayaan dimana mereka tinggal. Mereka harus mencari penyebab kotroversi, konflik dan inkonsistensi yang selanjutnya mengekplorasi dan menyelesaikanya.     Program pendidikan harus  menekankan pada : 1). Secara kritis mengkaji kekayaan budaya, 2). Tidak takut menkaji isu-isu sosial yang kontroversial, 3). Berkomitmen membawa perubahan sosial masyarakat yang konstruktif, 4). Mengelola rancangan tingkah laku dan 5). Melibatkan guru dan murid dalam program perubahan sosial, pendidikan, politik dan ekonomi sebagai sarana perubahan kebudayaan secara menyeluruh. (Ornstein dan Levine 2003 : 226)
            Faham pendidikan tersebut diatas adalah faham Rekonstruksi sosial. Faham Rekonstruksi sosial berkomitmen kuat pada persamaan ( equality ) atau keadilan ( equity ) dalam masyarakat dan pendidikan. Bagi mereka batas kelas sosioekonomi dan  pembedaan warna kulit harus diindentifikasi kembali, dikaji dan dihapuskan.Bagi guru, sekolah harus dapat digunakan sebagai agen perubahan sosial dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Guru tidak hanya sebagai pendidik, sebagai komentator netral, tetapi juga sebagai ujung tombak pengenalan dan perubahan sosial ( baca lingkungannya ).
            Pendidikan diharapkan mampu membangun kembali konsep-konsep yang rusak dari ilmu pengetahuan, pendidikan dan sekolah, selain itu instruksi dan inisiatif harus direncanakan lebih hati-hati untuk menciptakan pendidikan menuju perubahan sosial. Pendidiakan dirancang untuk membangun kesadaran siswa tentang masalah sosial dan melibatkan dirinya untuk menyelesaikan masalah. Siswa dibawa untuk mengkaji isu-isu kontroversial di masyarakat. Jadi diharapkan sekolah menjadi agen perubahan sosial.
            Ide penerapan faham ini kelihatan utopik, karena ada keinginan meredam konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Namun penjelasanya sebenarnya mudah. Silaturahmi dapat menambah rezeki, memperpanjang umur dan hidup dalam kedamaian.

C.   PENUTUP

            Kearifan Lokal adalah khasanah kekayaan intelektual dalam masyarakat. Hal itu dicapai melewati perjalanan waktu yang panjang, dengan berbagai percobaan-percobaan hidup untuk mencapai suatu keharmonisan bersama. Ini harus diberi ruang untuk berkembang dan mempertahankan diri. Dengan dalih apapun pemerintah tak berhak mengekang apalagi memenjarakan melalui  berbagai perangkat hukum ciptaanya. UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia telah mempunyai kearifan untuk memajukan budaya anak bangsa dalam hiruk pikuk perkembangan budaya global yang gila.  
            Pendidikan harus kembali menengok jati diri masyarakatnya melaui kekayaan kearifan yang dimiliki.  Kearifan Lokal  adalah akar yang menghujam dalam-dalam yang menyebabkan masyarakat tetap bertahan hidup dalam keharmonisan .Bila ini terabaikan, -apalagi terkooptasi untuk kepentingan mempertahankan hegemoni politik status quo-maka akar itu akan tercabut, yang pada gilirannya menyisakan konflik-konflik horisontal yang berkepanjangan .  Belajar dari Jepang dan China adalah suatu kearifan tersendiri, sesuai petuah ” carilah ilmu  walau sampai negeri cina ”


Sumber

Kukla, Andre, 2003, Konstruktivisme Social dan Filsafat Ilmu, (terj. Hari          Kusharyanto)    ,Penerbit Jendela ,Yogyakarta
Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi,  2004, Paradigma Pendidikan Universal           di Era   Modern dan Postmodern : Mencari “ Visi Baru “ atas “ Realitas     Baru “ Pendidikan Kita,  SircisoD

Ahmad, Haidlor Ali. 2006 . Kearifan Lokal Menuju Keharmonisan Hidup         Beragama Di    Desa Gempolan, Gura, Kediri, Jawa Timur. Makalah yang        diseminarkan  ( publikasi )  dalam “ Temu Peneliti di Lingkungan Badan             itbang dan Diklat           Departeme Agama RI 2006” di Jaya Raya Hotel           Cipayung Bogor , 1-4 Mei 2006

Mahpur , Mohammad , Mar 8th, 2008, Hibriditas dan Menyoal Kearifan Lokal , :        Jurnal   Budaya, Puspek Averroes

Ornstein, Allan.c and Daniel U. Levine,2004, foundations of Education, fourth
      edition, Houghton Mifflin Company, Boston

Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. ‘Ibda   Vol.5/No.1/Jan-Jun      2007/27-28

Ritzer, George,  2003,   Teori Sosial Postmodern,    ( terj. Muhammad Taufik),             Kreasi Wacana .Yogyakarta

Rozaki, Abdur. 2003. Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal.          File///D:/kuliah_S2/Loc_wisdom/flamma_adat_vol1-gagas1.htm

Wibawa, Sutrisna. 2007. Implementasi Pembelajaran Bahasa Daerah Sebagai   Muatan Lokal. Makalah disampaikan ( dipublikasi ) dalam Seminar       Nasional Pembelajaran Bahasa Daerah dalam Kerangka Budaya .         Yogyakarta, 8 September 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar