FILSAFAT
REKONSTRUKSI SOSIAL DALAM PENDIDIKAN
A. Faham Rekonstruksional Sosial yang Pertama
Era Postmodern dimulai
ketika gedung Pruitt Igoe di Sint Louis sebagai simbol puncak adi arsitektur dihancurkan pada
tanggal 15 Juli 1972 ( Lamert dalam
George Ritzer 2003 : i). Era modern belum klar
menyelesaikan tugasnya untuk mengantarkan masyarakatnya ke totalitas
kehidupan dalam dunia sain dan dunia teknologi, namun telah disusul pertunjukan karnaval postmodern
yang merangsang masyarakatnya menjadi entitas konsumeris. Didalam dunia
filsafat era modern hampir disamakan dengan dunia konstruksialisme atau
strukturalisme. Dimana narasi-narasi seorang failosuf dikonstruksikan dengan
kokoh dan dipercaya merupakan narasi universal. Hingga Nelson dalam bukunya
”constructivist Counterfactual Argument” menuliskan :
Jika
Ilmuwan telah memilih untuk memberikan sebuah fakta ( facthood ) atau
tidak melakukannya, maka sejarah berikutnya akan merefleksikan pilihan
itu dalam pandangan dunia yang konsisten dengan pilihan yang mereka buat secara
faktual balik. Oleh karena itu, ” fakta ” ditentukan oleh pilihan
ilmuwan, bukan oleh realitas obyektif ( Nelson dalam Andre Kukla 2003:4
)
Apa
yang dimaksudkan Nelson dengan ”fakta” adalah sesuatu yang dikonstruksi secara
tulisan maupun narasi. Ferdinand de Saussure
mengatakan bahwa bahasa mempunyai sistem dan regulasi yang berfungsi
sebagai fasilitator pelaksana kebahasaan yang dapat menunjukkan tanda-tanda
yang berupa ”kata” dan ”konsep”. Bagi kalangan strukturalis tulisan adalah
mempunyai sifat represif dan otoriter, sedangkan narasi (bicara) lebih bersifat
natural, original, spontan, kreatif, bebas dan comfortabel. Namun menurut
Derrida, ”kata” dan ”konsep” tidak menjamin komunikasi ideal. ”Kata” selalu mengandung echoes ( gema ) dan
memiliki kesaman dengan kata lain. Tulisan merupakan produk yang sesalu menjadi
bagian dari eksistensi sosial yang tidak bisa dilihat dari sisi antropilogisnya
saja, atau dianggap tidak mempunyai otoritas.(Ali Makhsum dan Luluk Yunan
Ruhendi :2006: 126 )
Jacques
Derrida Failosuf dari Perancis dengan Gramatologinya telah meruntuhkan tatanan
strukturalis, telah merobohkan bangunan konstruksionalis nya Ferdinand de
Saussure . Derrida dianggap oleh Charles Lamert sebagai penggagas faham
Rekonstruksionalime yang dicatat dari pidato Derrida tahun 1966. Gramatologi Derrida terdiri dari ide-ide
tentang : tulisan ( writing ) ,
differance dan arche-writing. Dengan ide-ide itu Derrida menyampaikan pesan suatu
pengertian bahwa selalu ada suatu alteritas yang tersembunyi di belakang tanda;
selalu ada sesuatu yang tersembunyi dibalik apa yang hadir. Ia adalah realitas
dan hubungannya dibalik realitas. .( George Ritser 2003:204). Teori Derrida pada awalnya ditujukan untuk
merekonstruksi kebahasaan, tetapi pada akhirnya banyak diterapkan di segala
aspek, terutama me- rekonstruksi sosial.
B. Faham Rekonstruksi Sosial Dalam Pendidikan
Faham
ini berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari penyebab krisis budaya. . Jika
sekolah merupakan refleksi nilai sosial yang dominan,, seperti anggapan
filsafat tradisionil, maka para rekonstruksionalis telah mengatur pendidikan
akan menyembuhkan penyakit-penyakit
sosial dengan gejala-gejalanya , hingga
menembus akar permasalahannya dan bagian
terdalam penderitaan manusia. Hanya
pendidikan yang mempunyai legitimasi ( keabsahan ) yang dapat menciptakan
aturan dunia dimana manusia dapat mengatur dirinya sendiri. Pendidikan harus bisa mengurangi
kesenjangan nilai antara budaya dan kemajuan teknologi.
Guru
menurut faham rekonstruksi sosial harus dapat melakukan kajian kritis terhadap
kebudayaan dimana mereka tinggal. Mereka harus mencari penyebab kotroversi,
konvlik dan inkonsistensi yang selanjutnya mengekplorasi dan menyelesaikanya.
Akibat kemajuan teknologi dibidang
nuklir, mengakibatkan kesenjanganantara
kaya dan miskin, negara maju dan berkembang kian lebar, maka menurut
rekonstruksionalis perlu disusun kurikulum internasional , sehingga menyadarkan
manusia hidup dijaman global.
Program
pendidikan faham ini menekankan pada : 1). Secara kritis mengkaji kekayaan
budaya, 2). Tidak takut menkaji isu-isu sosial yang kontroversial, 3).
Berkomitmen membawa perubahan sosial masyarakat yang konstruktif, 4). Mengelola
rancangan tingkah laku dan 5). Melibatkan guru dan murid dalam program
perubahan sosial, pendidikan, politik dan ekonomi sebagai sarana perubahan
kebudayaan secara menyeluruh. ( Allan C. Ornstein dan Daniel U. Levine 2003 :
226)
Pendidikan
diharapkan mampu membangun kembali konsep-konsep yang rusak dari ilmu
pengetahuan, pendidikan dan sekolah, selain itu instruksi dan inisiatif harus
direncanakan lebih hati-hati untuk menciptakan pendidikan menuju perubahan
sosial. Pendidiakan dirancang untuk membangun kesadaran siswa tentang masalah
sosial dan melibatkan dirinya untuk menyelesaikan masalah. Siswa dibawa untuk
mengkaji isu-isu kontroversial di masyarakat. Jadi diharapkan sekolah menjadi
agen perubahan sosial.
Faham
Rekonstruksi sosial berkomitmen kuat pada persamaan ( equality ) atau keadilan
( equity ) dalam masyarakat dan pendidikan. Bagi mereka batas kelas
sosioekonomi dan pembedaan warna kulit
harus diindentifikasi kembali, dikaji dan dihapuskan.Bagi guru, sekolah harus
dapat digunakan sebagai agen perubahan sosial dan meningkatkan kualitas hidup
manusia. Guru tidak hanya sebagai pendidik, sebagai komentator netral, tetapi
juga sebagai ujung tombak pengenalan dan perubahan sosial ( baca lingkungannya
).
Faham
Rekonstruksi sosial mendorong sistem pendidkan internasional sebagai mendia
untuk mengurangi konflik dunia secara sistemik.karena terkesan ingin mengkaji
kebijakan ide pemikiran rekonstruksional terkesan utopik karena mengembangkan
studi prediksi masa depan.( ibid.:227)
C. Rekonstruksi Sosial Pendidikan di Indonesia
Pada
masa Orde Baru, pendidikan yang diasumsikan saebagai aktifitas yang baik, berbudi dan humanis, telah
diselewengkan dengan pergumulan politik dan ideologi, pada gilirannya
originalitas pendidikan dan kebebasan
mimbar sebagai mainstream dinamika masyarakat teredusir menjadi proyek
penstabilan suatu ideologi. Hegemoni institusi telah dijadikan sebagai media
dalam mempertahankan status qou. Kita
ingat NKK, azas tunggal, Penataran P4 dan lain sebagainya adalah strategi
maupun alat diluar pendidikan yang dimasukkan sebagai polutan yang
mencemari virginitas pendidikan . Kurikulum,
sistem pengajaran, sistem intruksional dibuat terkonstruksi kokoh dan
kaku.
Krisis
multidemensi pada akhir tahun 90-an diyakini
karena gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Sumberdaya manusia yang di
hasilkan dari dunia pendidikan di Indonesia tidak mampu menjawab kebutuhan
pasar. Kualitas SDM suatu bangsa menunjukkan kualitas bangsa itu sendiri. Tahun
2003, Humman Development Index ( HDI ) Indonesia ada pada 0,682 , merosot dari
0,684. Diantara 175 Negara yang
mengikuti program pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( UNDP ). Indonesia
berada pada peringkat 109. Krisis di dunia Pendidikan Indonesia dikarenakan
belum meiliki platform yang
fondamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan.
(Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi 2004: 228 )
Secara
Filosofi, pendidikan di Indonesia mempunyai akar yang kuat. Namun formula dan
nilai filosofi yang tepat masih harus terus digali dan dikembangkan.
Narasi-narasi besar seperti : 1) bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama,
2). Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi budaya ketimuran. 3).
Amanat Pembukaan UUD 45 ” .....Mencerdaskan kehidupan bangsa....” dan visi
Pendidikan ” menciptakan manusia Indonesia seutuhnya ” , harus di-rekonstruksi
(?), untuk menciptakan platform yang
fondamental.
Indonesia
sebagai Negara Multikultur telah menyadari akan keadaanya, sehingga untuk
mendapatkan pendidikan tidak dibatasi jenis kelamin, agama, suku, ras, keadaan
sosial ekonomi dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan
menjadi acuan pokok. Tinjauan yuridis Pendidikan di Indonesia dapat dipaparkan
: 1). Visi Pendidikan ada pada Tap MPR No. II/MPR/1998. 2). Tujuan Pendidikan Indonesia dalam UU. No.
2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 3). Fungsi Pendidikan
Indonesia dalam UUSPN tahu 2003, bab. II pasal 3
Upaya
me-rekonstruksi pendidikan di Indonesia,
tampak diterapkanya Kurikulum
Berbasis Kompetensi ( KBK ) tahun 2004
yang dimantapkan dengan keputusan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 24 tahun 2006, tentang
pelaksanaan Permendiknas nomor 22 tahun
2006 tentang standar isi dan Permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang standar
kompetensi lulusan (SKKNI) untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Kurikulum yang dikembangkan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP
) – namun belum berjalan optimal.
Diharapkan
kurikulum dapat disusun oleh sekolah, komite sekolah , masyarakat , DU/DI.
Model Rekonstruksi Sosial dalam Pendidikan yang ditawarkan oleh Prof. DR. Setyo
Yuwono Sudikan, M.A ( guru besar dari Universitas Negeri Surabaya ) adalah
Pembrdayaan dan Partisipasi Masyarakat ( PPM ). Asumsi yang diajukan Prof.
Setyo Yuwono adalah 1). Masyarakat ( dan bukan seklah/Pemerintah) yang paling
mengerti tentang apa yang terbaik buat mereka. 2). Masyarakat berhak ikut serta
dalam perumusan setiap kebijakan yang akan menyangkut kepentingan dan
mempengaruhi kehidupan mereka ( dikutip dari : Ramlan Surbakti ). Prinsip PPM
adalah 1). Partisipasi harus didasari kesadaran adanya kesamaan kepentingan
sehingga tumbuh saling percaya, keterbukaan dan kesetaraan. 2). Masyarakat
tidak akan mau berpartisipasi di dalam program sekolah, kecuali mereka dapat
memperoleh apa yang mereka inginkan.
Strategi
yang ditawarkan adalah 1). Pembangunan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan. 2).
Tranformasi struktur sosial secara bertahap, sehingga terbetuk kesadaran sosial
akan pentingnya pendidikan. 3). Pengembangan Kelembagaan ( insititusional
development ) yang sudah ada seperti Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Majelis
Sekolah, Ikatan Alumni, dewan penyantun dan Paguyuban Yayasan .
D. Kesimpulan.
1. Filsafat Rekonstrusi Sosial adalah
filsafat yang mendobrak dan meruntuhkan bangunan kontruksi tulisan dan atau narasi yang telah bertahta sebagai filsafat konstruktif. Bagi
kaum rekonstruksional tulisan mempunyai
sifat ambigu yang ada sesuatu yang tersembunyi disetiap kehadiranya.
2. Filsafat rekonstrusi sosial lahir karena
adanya krisis budaya akibat antitesis modernisasi yang mengekploatasi vitalitas
manusia menemukan dunia sain dan
teknologi.
3. Manusia seharusnya dapat menentukan
nasibnya sendiri, oleh karena itu pendidikan diarahkan dapat menyembuhkan
penyakit masyarakat hingga batas yang terdalam, karena Allah tidak merubah
nasib suatu kaum hingga mereka mengubah sikap perilakunya sendiri.
4. Sekolah seharusnya dapat memberdayakan
masyarakat (humankind) dan Stake holder untuk ikut mengembangkan kurikulum dan
merancang bangun pendidikan di tingkat sekolah.
5. Institusi formal harus membuat masyarakat
dan DU/DI melek pendidikan/sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Kukla, Andre, 2003,
Konstruktivisme Social dan Filsafat Ilmu, terj. Hari Kusharyanto, Penerbit
Jendela ,Yogyakarta
Maksum, Ali dan Luluk Yunan
Ruhendi, 2004, Paradigma Pendidikan
Universal di Era Modern dan Postmodern : Mencari “ Visi Baru “ atas “ Realitas
Baru “ Pendidikan Kita, SircisoD
Muslich, Masnur, 2007, KTSP
: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual , Bumi Aksara, Jakarta. Cet.
Ketiga
Ornstein, Allan.c and Daniel U. Levine,2004, foundations of Education,
fourth edition, Houghton Mifflin Company, Boston
Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Postmodern, terj. Muhammad Taufik,
Kreasi Wacana Yogyakarta
Sudikan, Setyo Yuwono,
Prof. DR. MA, Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Blora dalam Pembangunan
Pendidikan, makalah presentasi dalam rangka Hari Pendidikan Nasional tahun 2008
, Dinas Diknas kab. Blora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar